PENDEKATAN
SOSIOLOGIS DALAM PENELITIAN AGAMA ISLAM
I.
Pendahuluan
- Dinamika Sosiologi Kemasyarakatan dan Lahirnya Ilmu Pengetahuan
Seiring dengan laju sivilisasi klasik-modern, maka watak dan
metodologi estimasi masyarakat mengalami akselerasi dalam berbagai varian.
Karunia kecerdasan pada manusia telah digunakan secara sistemik sinhgkron
dengan zaman kehidupanya, dimana ia mulanya menyesuaikan alat dengan tujuan dus
hidup bertahan, menyusunya sebagai senjata, samapai pada tingkat naluru fikir
yang systemic dan terjaga sampai sekarang[1]. Varian dan
puspawara peibadatanpun telah menjadi cirri universal masyarakat manusia[2], sambil
memikirkan secara mendalam permasalahan yang diangap krusial mengenai
peribadatan mereka. Dengan demkian muncullah cirri cirri dari metodologi dalam
bebruat, menanggap, mencerna serta mengamati dan menjawab ragam problematika
yang mereka alami selama hidupnya serta peneropongan terhadap cara kerjapun
mulai meluas. Ragam eksfresi peribadatan dalam keyakinan mereka itu, muncullah
istilah teologi, filsafat Agama dan perbandingan Agama.[3]
Awal pengetahuan manusia, hanya sebagai solusi problematika
mendesak, kemudian berkembang menjati satu kerangka estimatik sytemis yang
berdimensi teoritis mengenai gejala gejala ilmiyah. Asumsi bahwa gejala gejala
alam tidak terjadi secara kebetulan sebagaimana asumsi filsafat klasik yunani,
namun ia tercipta melalui hokum kausalitas yang kadang manusia belum sempurna
mengetahuinya. Dan apa yang dikenal dengan metode ilmu pengetahuan merupakan
suatu jalan untuk mengetahui gejala materi tersbut, mengamati bahwa fakta fakta
terjalin erat dalam hubungan kausalitas tersebut[4] Dengan
demikian ,kita bisa mengetahui bahwa, pengetahuan akan hukum kausalitas menjadi
hal yang krusial bagi kelangsungan estimasi manusia dalam konteks
penjagaan diri dan penghindaran diri[5].
Dari realita di atas maka lahirlah teori teori pengetahuan,
epistemology, metodologi serta berujung pada kalsifikasi pengetahuan yang
ditinjau dari beberapa segi menurut pakar masing masing. Misalnya menurut
tujuanya, ia membagi menjadi Teoritis[6] dan Praktis[7], dimana kedua
ilmu ini saling melengkapi dan tidak bisa terpisahkan. Hanya kadang ada yang
mempelajari ilmu teoriteis saja atau praktis saja hingga sukar dibedakan mana
ilmu yag masuk pada klasifikasi ini[8]. Kaitan dengan
agama peranan ilmu pengetahuanpun menempati posisi utama dalam konteks
mengetahui dan diketahui. Hanya sanay varian pendekatan yang digunakan tampak
belum bisa mengupas tuntas phenomena Agama sesungguhnya. Dengan demikian semua
cabang ilmu pengetahuan diharafkan mampu menjawab realita tersebut dengan
pendekatan pendekatan yang singkron, dalam hal ini Sosiologi Agama sebagai
salah satu teori dalam konteks menjawab penomenologi keagamaan sekaligus
menjadi sebuah pendekatan yang relevan dengan kehiudpan manusia[9]. Asumsi ini
kuat karna dalam kitab suci Agama Islam misalnya hamper secara keseluruha
obyeknya manusia dan sivilisasinya.
- Historis dan Tokoh
Secara matematis sosiologi dalam perkembanganya bisa
dibilang relative muda seiring dengan pola estimasi para pencetus serta realita
social kemasyarakatan dan bila dibandingkan dengan imlu ilmu lainya. Ada yang
menyebutnya kurang dari 200 tahun dan sebagainya.[10]
Sosiologi dalam penyebutanya pertama kali diperkenalkan oleh Auguste Comte
sehingga ia sering disebut dengan bapak sosiologi yang ia tuliskan dalam karya
pertamanya “The Course of Positive Philosophy,1838. Dalam perkembanganya
minat minat itu pun mulai diarahkan pada ranah keagamaan pada pertengahan abad
ke-19 oleh sejumlah serjana barat, terutama pada agama dan keagamaan[11].
Sosiologi terus mengalami perkembangan dan perubahan walau kadang menguat dan
melemah seiring mengacu pada wacana wacana tiplogis atau studi prilaku dan
system keyakinan keagamaan. Sebagian mendasarkan pada observasi dan klasifiksi
systematis bukan pada kekuasaan dan spekulasi, yang pada ahirnya menyebabkan
munculanya beberapa aliran aliran dalam sosiologi terkait dengan tujuan dan
ruang lingkup penerapanya.[12]
Seperti misalnya aliran Klasik, Positivisme, Teori Komplik, dan aliran
Fungsionalisme, dimana masing masing memilki orientasi serta metodologi yang
berbeda, namun demikian aliran ini menjadi penting sehingga kita bisa
mensintesiskan sesuai kebutuhan dan tingkat obyek yang kita teliti untuk
digunakan sebagai sebuah teori.
Di tengah tengah abad ke-20 Agama mulai memproleh
signifikansi marginal baik oleh sosiologi Eropa&Amerika Utara seirng dengan
penyebutan mereka dengan postmodernitas dan modernitas tinggi serta bangkitnya
agama ragam global baik secara sosiologis dengan sebuah konsekuensi keluar dari
garis tepi disiplinya dan memanipestasikan tumbuhnya minat pada mainstream
sosiologis yang pokus pada ekologi, perwujudan gerakan social, protes social,
globalisasi, nasionalisme dan postmodernitas[13].
Simpulanya adalah perkembangan sosiologi sejak awal sampai modern sekarang
masing masing memiliki ciri dan pendekatan serta tahapan tahapan yang
berbeda seirng dengan berbedanya tokoh masing masing sebagai pembawa aliran
tersebut.
Kaitanya dengan tokoh tokoh yang dinisbahkan pada aliran
aliran tersebut, bisa kita klasifikasikan dengan dua macam; tokoh perintis dan
tokoh pengembang. Diantara tokoh tokoh[14]
perintis yang dimaksud adalah ; a).Auguste Comte (1798-1857) membagi
sosiologi berdasarkan statistika dan dinamika sosial[15],
b). Karl Max[16],
c). Emile Durkheim membagi soiologi berdasarkan sejumlah sub disiplin[17],
d). Max Weber (1864)[18].
Selain itu juga ada serjana serjana barat terkenal seperti; Ward B Taiylor
(1832-1917), Herber Spencer (1820-1903), Friedrich H Muller (1823-1917),
Sir James G.Fraser (1854-1941), untuk tokoh yan ini lebih tertarik pada
agama agama primiti. Selanjutnya di antara tokoh tokoh yang dianggap sebagai
perintis adalah Peter Berger, C Wrigh Mills, Brom Selzing, Jac Douglas,
Randall Colin dll. Yang jelas kajian sosiologi secara ilmiyah dan terbina
mulai sekitar tahun 1900 hingga menjelang 1950 dengan munculnya sejumlah buku
buku sosiologi agama yang sering disebut dengan sosiologi agama klasik. Untuk
Klasik dikuasai dua tokoh ternama; Emile Dukhiem dari Prancis (1858-1917) dan
Max Weber dari Jerman (1864-1920) yang kemudian digolongkan oleh para ahli
sosiologi dalam sosiologi umum.[19]
Namun oleh Syamsudin Abdullah dalam bukunya “Agama dan
masyarakat” [20]
barang kali bisa kita kosumsi, telah menyebutkan ada beberapa aliran dalam
sosiologi Agama lengkap dengan riwayat, teori konsep serta metode masing masing
diantaranya: a). aliran Ibnu Khaldun (1332-1406) “Unggul dalam muqoddimahnya; Falsafah
Sejarah, Metodologi Sejarah, Penggagas Ilmu Peradaban/FilsafatSosial. Konsef:
masyarakat Holistik dan perimbanganya dengan bumi
(Sosiologi Umum), Klsifikasi etnik(Sosiologi pedesaan), Masyarakat
Menetap (Sosiologi Kota), Masryarakat Kinerja (Sosiologi Industri), Masyarakat
Ilmu (Sosiologi Pendidikan),.Teorinya adalah Teiri Ras. Metode:
Analitik-identifik derivasi epistemology agama dengan cara menegtahuinya serta
unsure unsure yang berkaitan dengan kemasyarakatan”, aliran Max Weber “Pelopor
penyelidikan antara soal soal social dan pengaruhn berbagai agama. Konsef:
Rasionalisasi Progresif. Metode : Metode Tipe Idel juga
Komfarativ;pengamatan gejala gejala umum juga menggunakan varian tipologi”,
aliran Joahchim Wach; “,Sosiologi agama hanya dapat dipaha,I dalam konteks ilmu
agama. Metode : Tipologi-analitik”, dan aliran Gabriel Le Bras. Masing masin
aliran ini memiliki karya cukup terkenal pada masanya dan sampai sekarang
dengan mengulas gejala gejala masyarkat hubungannya denagn agama dan keagamaan
masing masing.
- Sosiologi Agama dan Sosiologi Umum
Pada intinya antara sosiologi agama dan umum sebenarnya
tidak memeiliki perbedaan secara holistic namun juga tidak sama pada wilayah
wilayah tertentu. Artinya bahwa antara sosiologi agama dan umum memiliki
kesamaan pada tingkat obyek serta kadang ruang lingkuf terapanya atau ranahnya,
namun berbeda metodologi, asumsi, tujuan dan esensi dari penelitian tersebut.
Kalau bisa kita ulaskan , sosiologi umum mengamati gejala gejala sosioal secara
libral dengan tidak melibatkan dimensi dimensi keagamaan sebagai suatu esensi
dan substansi, sedangka sosiologi agama dengan obyek sama namun pengkaitanya
dengan keagamaan sebagai penomenologi dan esensi substansial.
- Pengertian
Kaitanya dengan sosiologi agama, maka kami perlu ulaskan
reduksi defenitif sosiologi, agama, prinsip prinsip sosiologi dan objek kajian
sosiologi agama, dengan demikia kita bisa mengetahui secara langsung esensi
sosiologi beserta orientasi dalam konteks pendekatan di dunia keagamaan. Untuk
sosiologi memiliki ragam defenitif yang diungkafkan para pakar sosiolog
seperti: Pitirim Sorikin, Roucek dan Warren, Willian F. Ogbun dan Mayer
F.Nimkof, J.A.A Von Dorn dan C.J. Lammers, Max Weber, Paul B. Horton, Soejono
Sukamto, Allan Jhonson, William Kornblum . Namun demikian perbedaan itu hanya
dalam konteks bahasa namun secara praktik memiliki titik temu dan sasaran yang
sama pada hal hal tertentu[21].
Akan tetapi juag karna keuniversalanya disiplin sosiologi mencakup banyak hal
dan memiliki ragam sosiologi yang mempelajari sesuatu yang berbeda dengan
tujuan berbedabeda[22]
Sosiologi[23]
dalam pengertian luasnya adalah ilmu tentang kemasyarakatan dan gejala gejala
mengenai masyarakat , termasuk gejala gejala tentang institusi social dan
pengaruhnya terhadap masyarakat. Atau lebih sempit lagi sosiologi adalah ilmu
prilaku masyarakat sebagai individu atau kelompok dan symbol symbol
intraksinya.[24]
Hal yang senada dengan Agama secara defenitif rumit untuk membahsakanya namun
yang jelas agama berisi tentang seprangkat kepercayaan, dogma, kaidah kaidah
moral, metodologi dan teori penyembahan, serta sprangkat pengetahuan secara
fisika maupun metafisika.[25]
Dengan demikian sosiologi agama berarti : Ilmu yang membahas
tentang Fenomena hubungan timbal balik, perbedaan & persamaan masyarakat
secara utuh dalam konteks mencari keterangan keterangan ilmiyah mengenai
masyarakat agama hususnya serta menemukan prinsip prinsip umum dalam hubunganya
dus berbagai system agama, tingkat, jenis spesialisasi peranan agama dengan
memandang agama sebagai phenomena social kemasyarakatan. Dalam hal ini orientasi
sosiologi agama dalam konteks sebagai pendekatan adalah prilaku prilaku serta
kausalitas dan hubungan timbal balik dalam sosialnya dan pengaruhnya cara
beragama. Sedangkan dalam konteks agama, menganlisis, mengamati, mengemontari
ilmu ilmu agama, teks teks yang disingkronkan dengan prilaku kamasyarakatan.
II.
APLIKASI PENDEKATAN SOSIOLOGI DALAM
PENELITIAN AGAMA
- Peranan dan Pungsi Sosiologi Agama dalam Penelitian Keagamaan
Realita bahwa ajaran agama banyak sekali kaitanya dengan
social kemasyarakatan baik secara teologis maupun hukum dan kaidah kaidah
moral, maka pendekatan sosiologi menjadi signifikan dalam konteks memahami
agama. Kalu kita cermati teks teks al-Quran misalnya atau Hadits, hampir
keseluruhanya berbicara tentang prilaku serta tidakan manusia sebagai makhluk
social dalam hal baik atau buruk. Disamping itu ganjaran pahala sebagian lebih
besar persentasenya untuk muamalah[26]
dari pada bidang ibadah. Kongkretnya misalnya cerita Para Nabi, Rasul, Ashabul
Kahfi, orang salih, kaum terdahulu beserta tatanan sosialnya dll. Dalam pada
itu sinyalir Allah tentang keharusan dari ummat sebagai soluftor terhadap
problematika masyarakat dengan mengarahkanya kepada kehidupan yang lebih baik.
Maka untuk memahami permasalahan tersebut serta ajaran ajarannya akan lebih
jelas bila kita dekati dengan teori teori sosiologi.
Intinya bahwa sosiologi agama dapat memberikan kontribusi
bagi instansi keagamaan dalam mengatasi problematika masyarakat dengan
menunjukkn cara cara ilmiyah, bisa memberikan pengetahuan tentang pola pola
intraksi social keagamaan yang terjadi pada masyarakat, memahami nilai nilai
tradisi, norma norma, serta keyakinan yang dianut. Dengan demikian melalui
pendekatan sosiologi, agama akan dapat dipahami dengan mudah, karena agama itu
sendiri diturunkan untukl kepentingan sosial[27].
- Pendekatan Sosiologi Agama dalam Agama dan Karatristiknya
Memandang bahwa pendekatan berarti cara pandang atau
paradigma yang terdapat dalam suatu bidang ilmu yang selanjutnya digunakan
dalam memahami agama-Islam misalnya yang dapat dilihat dalam beberapa aspek sesuai
dengan paradigmanya[28].
Dengan demikian penelitian agama dalam arti ajaran, system kepercayaan dengan
memakai rumusan sosiologi sebagai suatu studi interelasi serta bentuk bentuk
interaksi kemasyarakatan untuk melihat, memahami, memaparkan atau menjelaskan
phenomena agama. Untuk melihat phenomena tersebut sebagai mana anjuran para
tokoh, ada tiga landasan yang sering digunakan yang kemudian menggunakan logika
logika dan teori teori sosiologi baik klasik maupun modern. Ketiga landasan ini
masing masing memiliki karateristik tersendiri sehingga kadang bila persfektip
yang digunakan berbeda, maka hasilnya juga berbeda. Diantaran lndasan tersebut
seperti ; a). landasan Fungsional: “memandang masyarakat sebagai suatu
jaringan organisis dan system yang stabil dengan suattu kecendrungan untuk
mempertahankan system kerja yang selaras dan seimbang”, b). landasan
konplik : “memandang bahwa masyarakat terus
menerus berada dalam konflik sebagai determinan utama pengorganisasian social
sehinggan struktur dasar masyarakat sangat ditentukan oleh upaya upaya yang
dilakukan berbagai individu dan etnik dalam konteks mendapatkan sumber daya
untuk memenuhi kebutuhan mereka”, c). landasan Intraksionisme Simbolik :“memandang manusia
berbuat sesuatu berdasarkan makna makna yang dimiliki sesuatu tersebut yang
merupakan hasil interaksi sosialnyang diakibatkan oleh kesesuaian bersama dari
tindakan tindakan social individu”[29]. Dua landasan ini(fungsional&konflik)
ini bekerja dengan cara analisis makro focus pada struktur social, sedangkan
landasan interaksionalisme bekerja pada analisis mikro focus pada karateristik
personal dan intraksi yang terjalin antar individu.
Disamping itu ada beberapa karatristik dasar pendekatan
sosiologis yang dapat kita gunakan dalam konteks penelitian misalnya : a)
Stratifikasi social meliputi kelas dan etnis, b). Kategori biososial meliputi
sex, gender, keluarga, perkawinan dan usia, pola organisasi social; politik,
ekonomi, sistem pertukaran dan birokrasi.
Teoritas sosiologis menggunakan paradigm dan konseftualitas
analogis tentang dunia social yang didasarkan pada tradisi sosiologis, refleksi
atas data emfirisme melalui investigasi historis dan penelitian social
kontemfor. Pendekatan kualitatif sosioagama didasarkan pada skala besar survai
terhadap keyakinan keyakinan keagamaan, nilai nilai etis serta praktek ritual.
Sedangkan yang didasarkan pada skala kecil dengan menggunakan metode
penyelamatan pertisipan
- Setting Kasus Dalam Living al-Quran
Living
al-Quran yang dimaksud dalam hal ini adalah menemukan fenomena social yang erat
kaitanya dengan kehadiran al-Quran pada wilayah wilayah dan geografis tertentu,
bukan pada esensi tekstual, dengan menempatkan al-Quran singkron dengan masyarakat
pembacanya[30].
Dalam pada itu living al-Quran tidak dimaksud mencari kebenaran
otentisitas al-Quran sebagai teks atau konteks atau mencari kebenaran agama via
al-Quran yang bersifat judgmgment sekelompok agama tertentu, melainkan
mengedepankan tradisi social kemasyarakatan yang menempatkan agama sebagai
system keagamaan yakni system sosiologis dari persfektif kualitatif[31].
Living al-Quran juga dapat kita kategorikan sebagai penelitian keagamaan dengan
kerangka agama sebagai gejala social atau agama sebagai phenomena sosiologi,
maka sebagaimana ulasan Dr. Atho Muzhar desainyan akan menekankan
pentingnya penemuan keterulanangan gejala yang diamati sebelum sampai pada
kesimpulan. Lanjut Sahiron, juga menyebutkan dalam living al-Quran, diharafkan
agar masyarakat muslim mensikapi dan merespon al-Quran dalam realitas
kehidupan sehari hari menurut konteks budaya dan pergumulan social serta dapat
menemukan segala sesuatu dari hasil pengangamatan yang cermat dan teliti atas
prilaku komunitas muslim dalam pergaulan social keagamaan hingga menemukan
segala unsure yang menjadi komfonen terjadinya prilaku baik melalui struktur
luar atau struktur dalam agar dapat ditangkap nilai yang melekat dari sebuah
fenomena yang diteliti.[32]
Contoh real yang bisa kita aplikasikan adalah misalnya kita
menaganalisis “Ibadah Ritual Personal”. Setelah kita menguraikan
pendekatan serta metode dan teori yang digunakan dalam hal ini pendekatan
sosiologis, selanjutnya kita akan menganalisis bagai mana model model teladan
yang terdapat dalam al-Quran misalnya Para Nabi dan Waliullah atau bisa kita
uraikan kisah kisah teladan individu selanjutnya kita akan menganalisis
stratifikasi social beserta bagiannya dari obyek yang kita ambil serta kategori
bisosial dan bagianya. Juga bisa kita menjelaskan kehidupan yang terkoleksi
serta sytem interaksinya dengan masyarakat samapai pada sebuah kesimpulan.
Dengan demikian kita bisa merespon bahwa al-Quran sebagai realitas kehidupan
sehari hari dalam konteks budaya dan pergumulan social dll.
III.
PENUTUP
- Epilog
Sosiologi Agama sebagai Ilmu kemasyarakatan sekaligus
menjadi alternative praktis dalam konteks menemukan serta memeberikan jawaban
jawaban dari problematika fenomena keagamaan suatu masyarakat merupakan suatu
disiplin ilmu yang lahir dan tumbuh seiring dengan berkembangnya problem
problem kemasyarakatan dalam beragama baik secara langsung dan tidak lansung.
Termasuk di dalamnya adlah kehidupan beragama kaum Muslim, yang merupakan fenomena
social dengan ruang lingkup kajian ynag sangat luas. Pendekatan sosiologis
mempunyai peluang yang sangat besar untuk berkembang dalam lingkup ilmu
keislaman. Dalam pendekatan sosiologis erat sekali kaitanya dengan teori
teori sosiologi baik klasik maupun modern serta landasan sebagai pendekatan
dasar seperti structural-fungsional, konplik dan intraksionisme-simbolis. Hal
yang tidak bisa kita pungkiri adalah agama sebagai penomena social yang
mencakup kepercayaan serta berbagai praktiknya merupakan problem social yang
senanatiasa kita temukan pada setiap masyarakat. Agama merupakan suatu
institusional penting yang melengkapi keseluruhan system social serta
menyangkut aspek kehidupan manusia yang dapat transedensinya mencakup sesuati
yang mempunyai arti penting dan menonjol bagi manusia juga sebagai pemersatu
aspirasi manusia yang paling sublime, sumber moralitas, sumber tatanan
masyarakat dan perdamaaian bathin individu.
Dalam pada itu produk penelitian pendekatan sosiologis bisa
saja mengalami perbedaan dengan agam yang terdapat dalam doktrin kitab suci.
Sosiologi agama bukan mengkaji pada tingkat marginal salah atau benar, namun
bagaimana agama tersebut dihayati dan diamalkan oleh pemeluknyaatau
sederhananya cara beragama. Sehingga kadang apa yang ada dalam doktrin kitab
suci berbeda dengan apa yuang ada dalam kenyataan empirik. Namun hal semacam
itu bisa saja kita sintesiskan dengan memakai pendekatan yang leboh dekat
dengan agama sehingga teori teori social yang sudah lama dikenal singkron
dengan nila nalai agama pada umunya.
Jelasnya bahwa pendekatan sosiologis menjadi urgen dan perlu
mendapatkan perhatian yang lebih serius lagi terhadap gejala gejala social yang
selanjutnya mendorong kaum beragama memahami ilmu social sebagai dus memahami
agamanya. Benarlah apa yang Jalaluddin Rahmat tunjukkan besarnya perhatian
agama terhadap problem sosial[33].
Dalam hal ini misalnya penelitian terhadap living Quran sebagai tawara
alternative yan menghendaki bagaimana hubungna timbal balik dan respon
masyarakat dalam kehidupan sehari hari, dimaknai secara fungsional dalam
konteks fenomena social, dimana al-Quran mampu membentuk dunia social. Karna
kalau kita cermati, banyak ayat ayat yang erat kaitanya dengan social
kemasyarakatan disamping figurative problem juga menawarkan cara bermasyarakat
yang lebih positif obyektif serta dapat diterima oleh kebanyakan manusia yang
perlu kita dekati melalaui aspek sosiologis secara utuh misalnya kisah Nabi dan
para Rasul, ashabul kahfi, waliullah, orang orang mukmin dan nonmukmin serta
pesan pesan moral, keimanan, ketaqwaan, sehingga dapat dapat kita
aktualisasilan sesuai dengan living Quran tersebut.
Daftar
Pustaka
1. Abdullah, Syamsuddin Agama dan Masyarakat
(Jakarta:Logos Wacana Ilmu,cet.1 1997)
2. Arikunto, Suharsim Prosedur Penelitian:Suatu
Pendekatan Praktek.(Jakarta: Rineka Cipta, 2002)
3. Connolly (ed.), Approach to the Study of Religion,
diterjemahkan kedalam Bahasa Indonesia dengan judul, Aneka Pendekatan
Agama¸terj, Imam Khoiri (Yogyakarta: LKIS, 2002)
- Dea, Thomas F O sosiologi Agama Suatu Pengenalan Awal,( Jakarta:Rajawali Press,1992)
5. Djojodigieno, MM.Asas asas Sosiologi (Yogyakarta:Badan
Penerbit Gajah Mada, 1960)
6. Farid Ahmad, Ilyas Ba-Yunus, Sosiologi Islam: Sebuah
Pendekatan, terj. Hamid Ba-Syaib (Bandung:Mizan, 1996)
7. Hendropuspito Sosiologi Agama,
(Jakarta:Penerbit Kanisius,cet.22,1983)
9. Johnson, Doyle Paul Sociological Theory Classical
Founders and Contemporary Perspektive, (terj) Robert M.Z Lawang, Teori
Sosiologi Klasik dan Modern, (Jakarta: Gramedia, 1994)
10. Lawang,
Robet MZ Pengantar Sosiologi,(ttp:Universitas Tebuka,1999)
11. M.
Yatimin, Abdullah, Studi Islam Kontemporer. (Jakarta:Amzah, 2006)
12. Nata,
Abuddin Metoologi Studi Islam (Jakarta: Grafindo Persada,
2001)
13. Polak,
Maijor Sosiologi Suatu Pengantar Ringkas (Jakarta:Ichtiar
Baru Van Hoeve, 1991)
14. Purfey,
Paul Hunly The Chope and Method of Sosiology;a Metasociological Treatice.
Terjemahan
15. Rakhmat,
Jalaluddin Islam Alternatif (Bandung: Mizan, 1986)
16. Sandersson,
Steven K. Sosiologi Makro, terj. Hotman M. Siahaan
(Jakarta: Raja Grafindo Persada:1995)
17. Scharf,
Betty R. The Sosiological Studi of Religion. Terj. Sosiologi
Agam (Jakarta:Kencana,cet.1,2004)
18. Syamsuddin
Sahiron (ed), Metodologi Penelitian Living Qur’an dan Hadis,
(Yogyakarta:Teras, cet.1,2007)
19. Syani,
Abdul Sosiologi Dan Perubahan Masyarakat (Lampung:Pustaka
Jaya,1995) hlm.2, Tim MGMP, Sosiologi SUMUT, Sosisologi (Medan:
Kurnia,1999)
[2]..Betty R. Scharf, The Sosiological Studi of Religion.
Terj. Sosiologi Agam (Jakarta:Kencana,cet.1,2004),hlm.1
[6]. Yakni pengetahuan yang menuju ke pengetahan yang
benar demi pengetahuan itu sendiri. dan di sana ada Nomor thetic dan
Idiografic
[7]. Yakni disamping menuju ke pengertian pengetahuan itu
sendiri juga menuju kearah yang lain dan praktis; menunjukkan bagaimana orang
berbuat atau membuat sesuatu. Disana ada Normatife dan Teleologis
[10]. Thomas F O’dea, sosiologi Agama Suatu Pengenalan
Awal, Jakarta: Rajawali Press,1992, hlm. 25-27
[11]. Doyle Paul Johnson, Sociological Theory Classical
Founders and Contemporary Perspektive, (terj) Robert M.Z Lawang, Teori
Sosiologi Klasik dan Modern, (Jakarta: Gramedia, 1994), cet.3, hlm.4
[12]. Maijor Polak, Sosiologi Suatu Pengantar Ringkas
(Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1991),hlm. 7.
[13]. Peter Connolly (ed.), Approach to the Study of
Religion, diterjemahkan kedalam Bahasa Indonesia dengan judul, Aneka
Pendekatan Agama¸terj, Imam Khoiri (Yogyakarta: LKIS, 2002),hlm.269-270
[15]. Dikenal dengan perintis istilah sosiologi dalam karyanya “Course
de Philoshopy Positive”;menerangkan Tiga Jenjang Manusia;Teologi,
Metafisic,Positive
[16]. Dikenal dengan ahli Ekonomi, Filsafat, aktivis sosialisme
dalam tulisanya “The Comunis Manifesto”; memandang bahwa sejarah manusia
merupakan sejarah kelas
[17] . ia lebih menekankan pada fakta soisal;cara berada,
berfikir, berperasaan dan cara berada di luar individu dalam bukunya “Devision
of Labor in Society”; dengan membagi sosiologi menjadi;soiologi umum,
agama,hokum%moral tentang kejahatan,ekonomi,demografi,estetika
[18]. Ia memiliki banyak karya, baik secara rasional maupun
kepercayaan. Di juga menekankan pada tindakan orang lain sebagai tolak ukur
kebenaran.
[22] . Steven K. Sandersson, Sosiologi Makro, terj.
Hotman M. Siahaan (Jakarta: Raja Grafindo Persada: 1995) h. 2.
[23]. Berasal dari bahasa Latin” socius”: teman/kawan. Sedangkan
“logos”:berbicara/berkata. lihat Abdul Syani, Sosiologi Dan Perubahan
Masyarakat (Lampung: Pustaka Jaya, 1995) hlm.2, Tim MGMP, Sosiologi
SUMUT, Sosisologi (Medan: Kurnia, 1999) hlm. 3
[25] . Dalam kontek definisi mengenai agama sudah banyak diulas
oleh pakar agama agama dengan merujuk varian pendekatan dan ruang
lingkuf. Namun kesemua definisi itu belum mencakup secara keseluruhan
[26] . para pakar mengatakan ayat ayat muamalah hamper
berbanding 1:100 dengan ayat ibadah. Dan yang terkait dengan muamalah banyak
diulas dalam surat al-Baqorah, an-Nisa’, almaidah dsb.
[29]. Ilyas Ba-Yunus, Farid Ahmad, Sosiologi Islam: Sebuah
Pendekatan, terj. Hamid Ba-Syaib (Bandung: Mizan, 1996)
hlm.20-24.
[30] . Sahiron Syamsuddin (ed), Metodologi Penelitian
Living Qur’an dan Hadis, (Yogyakarta: Teras, cet.1,2007),hlm.51
[31] . Ulasan
mengenai penelitian persfektik kualitatif dan kuantitatif yang biasanya
langsung disebut dengan penelitian kualitatif dan kuantitatif rincianya, baca
Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian:Suatu Pendekatan Praktek.(Jakarta
: Rineka Cipta, 2002)
[33]. Dalam hal ini lima alasan dasar yang beliau tunjukkan
dalam konteks perhatian agama terhadap problem kemasyarakatan. Lihat Jalaluddin
Rakhmat, Islam Alternatif (Bandung: Mizan, 1986) hlm.48
Secara
sederhana sosiologi dapat diartikan sebagai ilmu yang menggambarkan tentang
keadaan masyarakat lengkap dengan struktur, lapisan, serta berbagai gejala
sosial lainnya yang saling berhubungan. Dengan ilmu ini suatu fenomena dapat
dianalisa dengan menghadirkan faktor-faktor yang mendorong terjadinya hubungan
tersebut, mobilitas sosial serta keyakinan-keyakinan yang mendasari terjadinya
proses tersebut.
Selanjutnya
sosiologi dapat dijadikan sebagai salah satu pendekatan dalam memahami agama.
Hal demikian dapat dimengerti, karena banyaknya bidang kajian agama yang baru
dapat dipahami secara proporsional dan lengkap apabila menggunakan jasa dan
bantuan sosiologi. Dalam agama Islam dapat di jumpai peristiwa Nabi Yusuf yang
dahulu budak lalu akhirnya bisa jadi penguasa Mesir. Sebagai contoh untuk
menjawab mengapa dalam melaksanakan tugasnya, Musa harus dibantu oleh nabi
Harun. Maka hal ini baru dapat dijawab dan sekaligus dapat ditemukan hikmahnya
dengan bantuan ilmu sosial. Tanpa ilmu sosial peristiwa-peristiwa tersebut
sulit dijelaskan dan sulit pula dipahami maksudnya. Disinilah letaknya
sosiologi sebagai salah satu alat dalam memahami ajaran agama.[1]
Beranjak
dari hal di atas maka dalam makalah ini akan membahas tentang pengertian
sosiologi, subdisiplin sosiologi, pendekatan sosiologi, agama sebagai fenomena
sosiologi, pendekatan sosiologi dalam tradisi intelektual Islam (Ibnu Khaldun),
penulis dan karya utama dalam studi Islam dengan pendekatan sosiologis, masalah
dan prospek pendekatan sosiologis, serta signifikansi dan kontribusi pendekatan
sosiologis dalam studi Islam.
B. Pengertian Sosiologi.
Secara
etimologi, kata sosiologi berasal dari bahasa latin yang terdiri dari
kata “socius” yang berarti teman, dan “logos” yang berarti
berkata atau berbicara tentang manusia yang berteman atau bermasyarakat.[2]
Secara
terminologi, sosiologi adalah ilmu yang mempelajari struktur sosial dan
proses-proses sosial termasuk perubahan-perubahan sosial.[3] Adapun objek sosiologi adalah
masyarakat yang dilihat dari sudut hubungan antara manusia dan proses yang
timbul dari hubungan manusia dalam masyarakat. Sedangkan tujuannya adalah
meningkatkan daya kemampuan manusia dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan
hidupnya.
Sosiologi
adalah kajian ilmiah tentang kehidupan sosial manusia yang berusaha mencari
tahu tentang hakekat dan sebab-sebab dari berbagai pola pikir dan tindakan
manusia yang teratur dapat berulang. Berbeda dengan psikologi yang memusatkan
perhatiannya pada karakteristik pikiran dan tindakan orang perorangan,
sosiologi hanya tertarik kepada pikiran dan tindakan yang dimunculkan seseorang
sebagai anggota suatu kelompok atau masyarakat.[4] Namun perlu diingat,
sosiologi adalah disiplin ilmu yang luas dan mencakup banyak hal, dan ada
banyak jenis sosiologi yang mempelajari sesuatu yang berbeda dengan tujuan yang
berbeda-beda pula.[5]
C. Sub-Disiplin Sosiologi
Beberapa
sub-disiplin dalam sosiologi yaitu: krimonologi, sosiologi sejarah, geografi
manusia, sosiologi industri, sosiologi politik, sosiologi pedesaan, sosiologi
kota, dan sosiologi agama.[6] Untuk lebih jelasnya akan
dijelaskan satu persatu sebagai berikut :
Kriminologi
adalah suatu kajian mengenai
perkembangan aktivitas kejahatan dalam hubungannya dengan fungsi struktur
institusi, dan metode mengendalikan penjahat dalam penangkapan, interogasi dan
perawatan yang berikutnya.
Sosiologi
sejarah adalah
suatu cabang sosiologi yang menggunakan data sejarah sebagai dasar untuk
membuat generalisasi ilmiah. Ia mementingkan pola atau bentuk hidup
kejadian-kejadian yang telah terjadi dalam sejarah, bukannya menentukan tertib
tarikh peristiwa sejarah yang seragam seperti yang dapat disimpulkan dari
peristiwa sejarah yang lalu.
Geografi
manusia
(kadang-kadang dinamakan antropo-geografi) ialah suatu ilmu mengenai
hubungan timbal balik manusia dengan alam lingkungan. Ia mempunyai dua prinsip
pendekatan:
Pertama,
pengaruh alam lingkungan seperti
iklim, kedudukan tanah dan air yang terdapat dalam kehidupan sosial manusia,
suatu pengaruh yang biasanya dianggap sebagai bukan penentu, tetapi sebagai
suatu pembatasan terhadap batas-batas yang luas.
Kedua,
pengaruh manusia terhadap alam
lingkungannya. Ini termasuk dalam arti kata yang luas, semua perubahan yang
dilakukan oleh manusia terhadap alam kebendaan, tetapi aktivitasnya lebih
khusus seperti mengalirkan rawa-rawa atau mempertahankan terusan.
Sosiologi
industri berhubungan
dengan cara mendapatkan pengetahuan mengenai proses sosial yang terlibat dalam
aktivitas industri, dan dengan organisasi industri sebagai sistem sosial. Ilmu
ini mengkaji aspek institusi mengenai aktivitas industri, dan hubungan proses
sosial dalam aktivitas industri kepada proses lain dalam masyarakat.
Sosiologi
politik adalah
suatu cabang sosiologi yang menganalisa proses politik dalam rangka bidang
sosiologi, mengorientasikan pengamatannya khusus kepada dinamika tingkah laku
politik, karena kajian ini dipengaruhi beberapa proses sosial, seperti
kerjasama, persaingan, konflik, mobilitas sosial, pembentukan pendapat umum,
peralihan kekuasaan beberapa kelompok, dan semua proses yang terlibat mempengaruhi
tingkah laku politik.
Sosiologi
pedesaan ialah
kajian mengenai penduduk desa dalam hubungan dengan kelompoknya. Ilmu ini
menggunakan metode dan prinsip sosiologi umum dan menggunakannya dalam kajian
mengenai penduduk desa, sekitar ciri-ciri penduduk desa, organisasi sosial
desa, dan berbagai lembaga dan asosiasi yang berfungsi di dalam kehidupan
sosial desa, proses sosial yang penting yang terdapat dalam kehidupan di desa,
pengaruh perubahan sosial atas organisasi sosial desa, dan beberapa masalah
yang dihadapi oleh masyarakat desa.
Sosiologi
kota adalah
kajian mengenai orang-orang kota dalam hubungan mereka antara satu kelompok
dengan kelompok lain. Bidang ini mengkaji ciri orang kota, organisasi sosial
dan aktivitas institusi mereka, proses interaksi asas yang berlaku dalam
kehidupan kota, pengaruh perubahan sosial dan beberapa masalah yang mereka
hadapi.
Sosiologi
agama adalah
melibatkan analisa sistimatik mengenai fenomena agama dengan menggunakan konsep
dan metode sosiologi. Institusi agama dikaji sedemikian rupa, dan struktur
serta prosesnya dianalisa, dan begitu juga hubungannya dengan institusi yang
lain, perkembangan, penyebaran dan jatuhnya agama dikaji untuk tujuan prinsip
umum yang dapat diperoleh darinya. Metode pengendalian sosial melalui aktivitas
agama dititikberatkan, seperti halnya aspek psikologi sosial mengenai tingkah
laku kolektif dalam hubungannya dengan fungsi agama. Ajaran agama dianalisa
dalam hubungan dengan struktur sosial.
Disamping
sub-disiplin sosiologi tersebut di atas, juga ada disiplin sosiologi pendidikan
dan pengetahuan. Ahli sosiologi mengatakan bahwa pendidikan adalah suatu kajian
sosial, karena perkembangan anak perlu ditumbuhkan dari segi hubungannya dengan
masyarakat dan kebudayaannya, individu tidak dapat berkembang jika diasingkan
dari kelompok sosialnya, dan kelompok sosial yang akhirnya membentuk
kepribadian tersebut melalui interaksi sosial.
Sosiologi
pengetahuan, suatu kajian mengenai hubungan antara struktur pemikiran dan latar
belakang sosiologi di mana ia hidup dan berfungsi, karena manusia ingin
mengetahui diri dan lingkungannya.
D. Pendekatan Sosiologi
Untuk
menghasilkan suatu teori tentulah melalui pendekatan-pendekatan, demikian
halnya dengan teori-teori sosiologi. Ada tiga pendekatan utama
sosiologi, yaitu :
- Pendekatan struktural – fungsional.
- Pendekatan konflik (marxien).
- Pendekatan interaksionisme – simbolis.[7]
Pendekatan
struktural – fungsional terkenal pada akhir 1930-an, dan mengandung pandangan
makroskopis terhadap masyarakat. Walaupun pendekatan ini bersumber pada
sosiolog-sosiolog Eropa seperti Max Webber, Emile Durkheim, Vill Predo Hareto,
dan beberapa antropolog sosial Inggris, namun yang pertama mengemukakan rumusan
sistematis mengenai teori ini adalah Halcot Parsons, dari Harvard. Teori ini
kemudian dikembangkan oleh para mahasiswa Parson, dan para murid mahasiswa
tersebut, terutama di Amerika. Pendekatan ini didasarkan pada dua asumsi dasar
yaitu :
- Masyarakat terbentuk atas substruktur-substruktur yang dalam fungsi-fungsi mereka masing-masing, saling bergantung, sehingga perubahan-perubahan yang terjadi dalam fungsi satu sub-struktur dengan sendirinya akan tercermin pada perubahan-perubahan yang terjadi dalam struktur-struktur lainnya pula. Karena itu, tugas analisis sosiologis adalah menyelidiki mengapa yang satu mempengaruhi yang lain, dan sampai sejauh mana.
- Setiap struktur berfungsi sebagai penopang aktivitas-aktivitas atau substruktur-substruktur lainnya dalam suatu sistem sosial. Contoh-contoh sub-struktur ini dalam masyarakat adalah keluarga, perekonomian, politik, agama, pendidikan, rekreasi, hukum dan pranata-pranata mapan lainnya.
Adapun
pendekatan marxien atau pendekatan konflik merupakan pendekatan alternatif
paling menonjol saat ini terhadap pendekatan struktural-struktural sosial
makro. Karl Marx (1818-1883) adalah tokoh yang sangat terkenal sebagai pencetus
gerakan sosialis internasional. Meskipun sebagian besar tulisannya ia tujukan untuk
mengembangkan sayap gerakan ini, tetapi banyak asumsinya yang dalam pengertian
modern diakui sebagai bersifat sosiologis.[8] Namun para pengikut sosiologi Marx menggunakan
pedoman-pedoman sosiologis dan ideologisnya Marx secara sangat eksplisit,
sedangkan prasangka idiologis hanya secara implisit terdapat dalam
tulisan-tulisan para penganut pendekatan struksional-fungsional.
Sosiologi
Marx didasarkan atas dua asumsi pokok:
- Ia memandang kegiatan ekonomi sebagai faktor penentu utama semua kegiatan kemasyarakatan.
- Ia melihat masyarakat manusia terutama dari sudut konflik di sepanjang sejarah. Menurut Marx, motif-motif ekonomi dalam masyarakat mendominasi semua struktur lainnya seperti keluarga, agama, hukum, seni, sastra, sains dan moralitas.
Ia
menganggap cara produksi di sepanjang sejarah manusia secara sedemikian rupa,
sehingga sampai-sampai ia berpandangan sumber daya ekonomi dikuasai oleh
segelintir orang tertentu, sementara golongan masyarakat lainnya ditakdirkan
untuk bekerja demi mereka dan tetap bergantung pada kemurahan hati segelintir
penguasa sebagian besar sumber daya itu. Karenanya Marx melihat masyarakat
terbagi jadi dua kelas:
- Kelas pemilik yang selalu mengekploitasi.
- Kelas buruh yang senantiasa terekploitasi.
Pengeksploitasian
terus menerus ini menurut Marx mengharuskan terjadinya revolusi-revolusi.
Bertolak dari memandang sejarah manusia dengan cara seperti ini, Marx
mengajukan teori sosialismenya yakni suatu solusi final agar seluruh sumber
daya dapat dimiliki oleh semua orang. Dan revolusi-revolusi lanjutan
tidak lagi diperlukan karena idealnya tidak ada lagi kelaparan,
pengeksploitasian dan konflik.
Sedangkan
pendekatan intraksionalisme-simbolis merupakan sebuah perspektif mikro
dalam sosiologi, yang barang kali sangat spekulatif pada tahapan analisisnya
sekarang ini. Tetapi pendekatan ini mengandung sedikit sekali prasangka
idiologis, walaupun meminjam banyak dari lingkungan barat tempat dibinanya pendekatan
ini.[9]
Pendekatan
intraksionisme simbolis lebih sering disebut pendekatan intraksionis saja,
bertolak dari interaksi sosial pada tingkat paling minimal. Dari tingkat mikro
ini ia diharapkan memperluas cakupan analisisnya guna menangkap keseluruhan
masyarakat sebagai penentu proses dari banyak interaksi. Manusia dipandang
mempelajari situasi-situasi transaksi-transaksi politis dan ekonomis,
situasi-situasi di dalam dan di luar keluarga, situasi-situasi permainan dan
pendidikan, situasi-situasi organisasi formal dan informal dan seterusnya.
E. Agama sebagai Fenomena Sosiologi
Penjelasan
yang bagaimanapun tentang agama, tidak akan pernah tuntas tanpa mengikutsertakan
aspek-aspek sosiologinya. Agama yang menyangkut kepercayaan serta berbagai
prakteknya benar-benar merupakan masalah sosial, dan sampai saat ini senantiasa
ditemukan dalam setiap masyarakat manusia di mana telah dimiliki berbagai
catatan tentang itu, termasuk yang bisa diketengahkan dan ditafsirkan oleh para
ahli arkeologi.
Dalam
masyarakat yang sudah mapan, agama merupakan salah satu struktur institusional
penting yang melengkapi keseluruhan sistem sosial. Akan tetapi masalah agama
berbeda dengan masalah pemerintahan dan hukum, yang lazim menyangkut alokasi
serta pengendalian kekuasaan. Berbeda dengan lembaga ekonomi yang berkaitan
dengan kerja, produksi dan pertukaran. Dan juga berbeda dengan lembaga keluarga
yang diantaranya berkaitan dengan pertalian keturunan serta kekerabatan.
Thomas
F. O’dea mengatakan “masalah inti dari agama tampaknya menyangkut sesuatu yang
masih kabur serta tidak dapat diraba, yang realitas empirisnya sama sekali
belum jelas. Ia menyangkut dunia luar, hubungan manusia dan sikapnya terhadap
dunia luar itu, dan dengan apa yang dianggap manusia sebagai implikasi praktis
dari dunia luar tersebut terhadap kehidupan manusia”.[10]
Perbandingan
aktivitas keagamaan dengan aktivitas lain atau perbandingan lembaga keagamaan
dengan lembaga sosial lain, sepintas menunjukkan bahwa agama dalam kaitannya
dengan masalah yang tidak dapat diraba tersebut merupakan sesuatu yang tidak
penting, sesuatu yang sepele dibandingkan bagi masalah pokok manusia. Namun
kenyataan menunjukkan lain. Sebenarnya lembaga keagamaan adalah menyangkut hal
yang mengandung arti penting menyangkut masalah kehidupan manusia, yang dalam
transedensinya mencakup sesuatu yang mempunyai arti penting dan menonjol bagi
manusia. Bahkan sejarah menunjukkan bahwa lembaga-lembaga keagamaan merupakan
bentuk asosiasi manusia yang paling mungkin untuk terus bertahan.
Disamping
itu agama telah dicirikan sebagai pemersatu aspirasi manusia yang paling
kental; sebagai sejumlah besar moralitas, sumber tatanan masyarakat dan
perdamaian batin individu, sebagai sesuatu yang memuliakan dan yang membuat
manusia beradab. Tetapi agama juga dituduh sebagai penghambat kemajuan manusia,
dan mempertinggi panatisme dan sifat tidak toleran. Pengacauan, pengabaian,
tahayul dan kesia-siaan.
Catatan
sejarah yang ada menunjukkan agama sebagai salah satu penghambat tatanan sosial
yang telah mapan. Tetapi agama juga memperlihatkan kemampuannya melahirkan
kecenderungan yang sangat revolusioner. Emile Durkheim seorang pelopor
sosiologi agama di Prancis berpendapat bahwa agama merupakan sumber semua
kebudayaan yang sangat tinggi. Sedangkan Marx mengatakan bahwa agama adalah
candu bagi manusia.[11] Jelas agama menunjukkan seperangkat
aktivitas sosial yang mempunyai arti penting.
F. Pendekatan Sosiologis dalam
Tradisi Intelektual Islam (Ibnu Khaldun).
Ibnu
Khaldun[12] menghimpun aliran sosiologi dalam Mukaddimah.
Cakrawala pemikiran Ibnu Khaldun sangat luas, dia dapat memahami masyarakat
dalam segala totalitasnya, dan dia menunjukkan segala penomena untuk bahan
studinya. Dia juga mencoba untuk memahami gejala-gejala itu dan menjelaskan
hubungan kausalitas di bawah sorotan sinar sejarah. Kemudian dia mensistematik
proses peristiwa-peristiwa dan kaitannya dalam suatu kaidah sosial yang umum.
Keunggulan
Mukaddimah ditemukan dalam beberapa hal yaitu :
- Pada falsafah sejarah. Penemuan ini telah memberi pengertian tentang pemahaman yang baru mengenai sejarah, yaitu bahwa sejarah itu adalah ilmu dan memiliki filsafat. Di mana peristiwa-peristiwa sejarah terkait dengan determinisme kealaman dan bahwa penomena sejarah adalah kejadian-kejadian dalam negara.
- Metodologi sejarah. Ibnu Khaldun melihat bahwa kriteria logika tidak sejalan dengan watak benda-benda empirik, oleh karena epistimologinya adalah observasi. Prinsip ini merangsang para sejarawan untuk mengorientasikan pemikirannya kepada eksprimen-eksprimen dan tidak menganggap cukup eksprimen yang sifatnya individual, tetapi mereka hendaknya mengambil sejumlah eksprimen. Dia berpendapat sesuai dengan metodologi sejarah, adanya hubungan antara sejarah dengan ekonomi, bahwa faktor utama dalam revolusi dan perubahan ialah ekonomi.
- Dialah penggagas ilmu peradaban atau filsafat sosial, pokok bahasannya ialah kesejahteraan masyarakat manusia dan kesejahteraan sosial. Ibnu Khaldun memandang ilmu peradaban adalah ilmu baru, luar biasa dan banyak faedahnya. Ilmu baru ini, yang diciptakan oleh Ibnu Khaldun memiliki arti yang besar. Menurutnya ilmu ini adalah kaidah-kaidah untuk memisahkan yang benar dari yang salah dalam penyajian fakta, menunjukkan yang mungkin dan yang mustahil.
Ibnu
Khaldun membagi topik ke dalam 6 pasal besar yaitu :
a.
Tentang masyarakat manusia setara
keseluruhan dan jenis-jenisnya dalam perimbangannya dengan bumi; “ilmu
sosiologi umum”.
b.
Tentang masyarakat pengembara dengan
menyebut kabilah-kabilah dan etnis yang biadab; “sosiologi pedesaan”.
c.
Tentang negara, khilafat dan
pergantian sultan-sultan; “sosiologi politik”.
d.
Tentang masyarakat menetap,
negeri-negeri dan kota; “sosiologi kota”.
e.
Tentang pertukangan, kehidupan,
penghasilan dan aspek-aspeknya; “sosiologi industri”.
Juga
dia adalah orang yang pertama yang mengaitkan antara evolusi masyarakat manusia
dari satu sisi dan sebab-sebab yang berkaitan pada sisi yang lain. Dia
mengetahui dengan baik masalah-masalah penelitian dan laporan-laporan
penelitian. Laporan penelitian menurut Ibnu Khaldun hendaklah diperkuat oleh
dalil-dalil yang meyakinkan. Dia telah mengkaji prilaku manusia dan pengaruh
iklim dan berbagai aspek pencarian nafkah beserta penjelasan pengaruhnya pada
konstitusi tubuh manusia dan intelektual manusia dan masyarakat.
G. Penulis dan Karya Utama dalam
Studi Islam dengan Pendekatan Sosiologis
Dalam
kajian pendekatan sosiologi dalam studi Islam, banyak para penulis baik penulis
dari barat maupun penulis muslim itu sendiri, yang telah menghasilkan karyanya
tentang sosiologi yang ada hubungannya dalam memahami agama. Diantaranya adalah
Clifford Geertz dalam bukunya; The religion of Java, tulisannya
ini sangat menberikan kontribusi yang luar biasa meskipun banyak kritikan yang
dilontarkan kepadanya. Namun dari segi metodologi banyak manfaatnya yang bisa
diambil dalam karyanya ini.Geertz menemukan adanya pengaruh agama dalam pojok
dan celah kehidupan Jawa. Masih banyak lagi karya Geertz yang lain seperti; Religion
as a cultural system dalam Anthropological approachhes to the study of
religion, juga karyanya yang lain; Tafsir kebudayaan, after the fact,
politik kebudayaan Islam serta karya-karya Geertz yang lainnya.
Menurut
Akbar S.Ahmad tokoh-tokoh sosiologi dalam dunia Islam telah tumbuh dengan pesat
jauh sebelum tokoh-tokoh dari barat muncul, seperti seorang tokoh muslim Abu
Raihan Muhammad bin Ahmad al-Biruni al-Khawarizmi. Ilmuwan besar ini dilahirkan
di Khawarizmi, Turkmenista, Dzulhijjah 362 H/ September 973 M. Ia tidak
hanya menulis buku tentang sosiologi dan antropologi saja akan tetapi ia
menguasai ilmu sejarah, matematika, fisika, ilmu falak, kedokteran, ilmu
bahasa, geografi dan filsafat. Dia adalah seorang yang terkenal banyak mengarang
dan menerjemahkan karya-karya tentang kebudayaan India kedalam bahasa Arab.[14]
Masih
dalam lingkup yang sama , al-Biruni tidak menyia-nyiakan kesempatan beberapa
ekspedisi militer ke India bersama sultan Mahmoud Gezna. Dia pergunakan
lawatannya tersebut dengan melakukan penelitian seputar adat istiadat, agama
dan kepercayaan masyarakat India. Selain itu, dia juga belajar filsafat Hindu
pada sarjana setempat. Jerih payahnya inilah menghasilkan karya besar berjudul
Tarikh al-Hindi (sejarah India) tahun 1030 M.
Menurut
sumber-sumber otentik, karya al-Biruni lebih dari 200 buah, namun hanya sekitar
180 saja yang diketahui dan terlacak.beberapa diantara bukunya terbilang
sebagai karya monumental. Selain yang telah tersebut di atas . Seperti buku
al-Atsar al-Baqiyah ‘an al-Qurun al-Khaliyah (peninggalan bangsa-bangsa kuno)
yang ditulisnya pada 998 M, ketika dia merantau ke-Jurjan, daerah tenggara laut
Kaspia. Dalam karyanya tersebut, al-Biruni antara lain mengupas sekitar
upacara-upacara ritual, pesta dan festival bangsa-bangsa kuno.[15]
Ali
Syari’ati merupakan salah satu tokoh sosiologi, yang menyatukan ide dan praktik
yang menjelma dalam revolusi Islam Iran. Kekuatan idenya itulah yang
menggerakkan pemimpin spiritual Iran, Ali Khomeini memimpin gerakan masa yang
melahirkan Republik Islam Iran pada tahun 1979. Meski buah pikirannya, saham
pemikir besar ini dinilai sangat berharga bagi percaturan Islam dikemudian
hari. Ali Syari’ati di lahirkan di Khurasan, Iran 24 November 1933.[16] Sebagai sang sosiolog yang tertarik
pada dialektis antara teori dan praktik : antara ide dan kekuatan-kekuatan
sosial dan antara kesadaran dan eksistensi kemanusiaan. Dua tahun sebelum
revolusi Iran- Syari’ati telah menulis beberapa buku, diantaranya : Marxisme
and other western Fallacies, On the Sociology of Islam, Al-Ummah wa Al-Imamah,
Intizar Madab I’tiraz dan Role of Intellectual in Society.
Selanjutnya Ibnu Batutah, adapun
karyanya yang berjudul Tuhfah al-Nuzzar fi Ghara’ib al-Amsar wa Ajaib al-Asfar
(persembahan seorang pengamat tentang kota-kota asing dan perjalanan yang
mengagumkan)
Kemudian
tokoh sosiologi yang tidak asing lagi yaitu Ibnu Khaldun, pemikiran dan
teori-teori politiknya yang sangat maju telah mempengaruhi karya-karya para
pemikir politik terkemuka sesudahnya seperti Machiavelli dan Vico. Dia mampu
menembus ke dalam fenomena sosial sebagai filsuf dan ahli ekonomi yang dalam
ilmunya. Dia juga peletak dasar ilmu sosiologi dan politik melalui karya magnum
opus-nya, Al-Muqaddimah.
Adapun
teori yang dikemukakan Ibnu Khaldun dikenal orang dengan teori disintegrasi
(ancaman perpecahan suatu masyarakat/bangsa). Dia menulis soal itu lantaran
melihat secara faktual ancaman disintegrasi akan membayangi dan mengintai umat
manusia bila mengabaikan dimensi stabilitas sosial dan politik dalam
masyarakatnya. Setidaknya, berkat dialah dasar-dasar ilmu sosiologi politik dan
filsafat dibangun. Tidak heran jika warisannya itu banyak diterjemahkan
keberbagai bahasa, termasuk bahasa Indonesia.[17]Juga banyak tokoh-tokoh sosiologi
Indonesia seperti : Soerjono Soekanto, diantara karyanya; sosiologi suatu
pengantar. Koentjaraningrat diantara hasil karyanya; masyarakat desa di
Indonesia masa ini, beberapa pokok antropologi sosial dan lain-lain.
Beberapa
tokoh-tokoh yang mempengaruhi perkembangan ilmu sosiologi lainnya
diantaranya yaitu: Agust Comte (1798-1857), seorang Perancis yang merupakan
bapak sosiologi yang pertama kali memberi nama pada ilmu tersebut yaitu dari
kata-kata socius dan logos. Hasil karyanya adalah; The
scisntific labors necessary for the reorganization of society (1822). The
positive philosophy (6 Jilid 1830-1840), subjective synthesis (1820-1903). Herbert
Spencer (1820-1903), karyanya yang terkenal; The principles of
sociology, yang menguraikan materi sosiologi secara sistematis.
Emile
Durkheim (1858 – 1917), adapun karyanya; The social division of labor, The
rules of sociological method dan The elementary forms of religious life.
Max Weber (1864-1920), sosiologi dikatakan sebagai suatu ilmu yang berusaha
untuk memberikan pengertian tentang aksi-aksi sosial untuk memperoleh gambaran
dan pengaruhnya. Diantara karyanya adalah; Economic and society, collected
essays on sosiology of religion dan lain-lain.
Charles
Horton Cooley (1864 – 1929), yang mengembangkan konsepsi mengenai hubungan
timbal balik dan hubungan yang tidak terpisahkan antara individu dan
masyarakat. Karyanya adalah; Human ature and society order, social
organization dan social process. Ferdinand Tonnis , hasil karyanya; Sociological
studies and critism ( 3 jilid, 1952). Vilfredo Pareto ( 1848 – 1923), hasil
karyanya yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dengan judul; The
mind and society.[18]
Thomas
F.O’deo, hasil karyanya; The sociology of religion. Karl Marx
(1818-1883) adalah tokoh yang sangat terkenal sebagai pencetus gerakan sosialis
internasional
H. Masalah dan Prospek Pendekatan
Sosiologi
Ketiga
pendekatan sosiologi (struktural-fungsional, konflik dan
intraksionisme-simbolis) yang telah disebutkan pada bagian terdahulu, adalah
pendekatan sosiologi kontemporer yang dibina dengan objek masyarakat barat,
karenanya pendekatan tersebut tidak bersifat universal. Pemikiran barat bukan
saja jauh dari dan kerap kali bertentangan dengan persepsi-persepsi lokal dalam
masyarakat-masyarakat non-Barat, tetapi juga tidak mampu menjelaskan problem
yang dewasa ini dihadapi oleh masyarakat-masyarakat ini.
Tidak
sedikit contoh tentang kelemahan dalam sosiologi ini. Misalnya teori tentang
kejahatan dan pelanggaran serta penyimpangan yang didasarkan pada
pengalaman-pengalaman dan penelitian-penelitian di pusat kota New York dan
Chicago, tidak menjelaskan masalah kejahatan dan penyimpangan yang ada di Uni
Soviet, Pakistan, Mesir, Indonesia dan masyarakat-masyarakat serupa lainnya.[19]
Upaya-upaya
sosialisasi modern untuk menjelaskan stratifikasi sosial, perkawinan dan
keluarga, juga dapat dikatakan tidak memadai untuk menerangkan
masyarakat-masyarakat non-Barat. Dan jika diperhatikan lebih dekat, akan
ditemukan banyak perbedaan dalam pendekatan-pendekatan yang dianut dikalangan
sosiolog-sosiolog satu negara barat dan negara barat lainnya.
Memang
telah ada upaya-upaya untuk meredakan perbedaan-perbedaan sosiologis antara
satu negara barat dengan negara barat lainnya. Perbedaan-perbedaan ini bisa
dihilangkan dengan interaksi yang lebih akrab antara para sosiolog eropa dan
Amerika, tetapi akan tetap dirasakan adanya kenyataan yang janggal bahwa
pendekatan-pendekatan sosiologis barat didasarkan pada asumsi-asumsi dan
penelitian-penelitian yang asing bagi realitas sosial di masyarakat non-barat.
Bila
dialihkan perhatian, dari masyarakat barat pada umumnya, ke masyarakat muslim
atau wilayah yang berkebudayaan Islam pada khususnya, maka akan terlihat bahwa
studi sistematis mengenai Islam merupakan suatu bidang yang benar-benar tidak
diperdulikan dalam sosiologi. Nyaris tidak satu pun studi sosiologis tentang
Islam dan masyarakat-masyarakat muslim.[20]
Dalam
hal ini hendaknya semua orang yang menaruh minat pada pengembangan teori
prilaku sosial muslim, memulai dengan melihat pendidikan ilmu sosial modern
mereka dari sudut asumsi-asumsi al-Qur’an tentang manusia, dan dalam kaitannya
dengan sejumlah karya sejarah dan hukum yang ditulis oleh para ulama muslim di
masa silam dan kini.
I. Signifikasi dan Kontribusi
Pendekatan Sosiologi dalam Studi Islam
Pendekatan
sosiologi dalam studi Islam, kegunaannya sebagai metodologi untuk memahami
corak dan stratifikasi dalam suatu kelompok masyarakat, yaitu dalam dunia ilmu
pengetahuan, makna dari istilah pendekatan sama dengan metodologi, yaitu sudut
pandang atau cara melihat atau memperlakukan sesuatu yang menjadi perhatian
atau masalah yang dikaji.[21] Selain itu, makna metodologi juga
mencakup berbagai teknik yang digunakan untuk memperlakukan penelitian atau
pengumpulan data sesuai dengan cara melihat dan memperlakukan sesuatu
permasalahan atau teknik-teknik penelitian yang sesuai dengan pendekatan
tersebut.
Kegunaan
yang berkelanjutan ini adalah untuk dapat mengarahkan dan menambah
keyakinan-keyakinan ke-Islaman yang dimiliki oleh kelompok masyarakat tersebut
sesuai dengan ajaran agama Islam tanpa menimbulkan gejolak dan tantangan antara
sesama kelompok masyarakat. Seterusnya melalui pendekatan sosiologi ini dalam
studi Islam, diharapkan pemeluk agama Islam dapat lebih toleran terhadap
berbagai aspek perbedaan budaya lokal dengan ajaran agama Islam itu sendiri.
Melalui
pendekatan sosiologi sebagaimana tersebut diatas terlihat dengan jelas hubungan
agama Islam dengan berbagai masalah sosial dalam kehidupan kelompok masyarakat,
dan dengan itu pula agama Islam terlihat akrab fungsional dengan berbagai
fenomena kehidupan sosial masyarakat.
Pendekatan
sosiologi seperti itu diperlukan adanya, sebab banyak hal yang dibicarakan
agama hanya bisa dijelaskan dengan tuntas melalui pendekatan sosiologi.
Misalnya; fungsi kata permintaan maaf pada masyarakat yang kerap terjadi dalam
kehidupan sehari-hari dan dapat diselesaikan dengan pendekatan sosiologi.
Dengan demikian pendekatan sosiologi sangat dibutuhkan dalam memahami
ajaran agama, karena dalam ajaran agama tersebut terdapat uraian dan informasi
yang dapat dijelaskan dengan bantuan ilmu sosiologi dan cabang-cabangnya.
Dari
sisi lain terdapat pula signifikasi pendekatan Islam dalam sosiologi, salah
satunya adalah dapat memahami fenomena sosial yang berkenaan dengan ibadah dan
muamalat. Pentingnya pendekatan sosiologis dalam memahami agama dapat
dipahami karena banyak sekali ajaran agama yang berkaitan dengan masalah
sosial. Besarnya perhatian agama terhadap masalah sosial ini, selanjutnya
mendorong agamawan memahami ilmu-ilmu sosial sebagai alat memahami
agamanya. Dalam bukunya yang berjudul Islam alternatif. Jalaluddin Rahmat telah
menunjukkan betapa besarnya perhatian agama yang dalam hal ini adalah Islam
terhadap masalah sosial, dengan mengajukan lima alasan.[22] Sebagai berikut. :
Pertama dalam al-Qur’an atau kitab hadits,
proporsi terbesar kedua sumber hukum Islam itu berkenaan dengan urusan
muamalah. Sedangkan menurut Ayatullah Khoemeini dalam bukunya al-Hukumah
al-Islamiyah yang dikutip oleh Jalaluddin Rahmat dikemukakan bahwa
perbandingan antara ayat-ayat ibadah dan ayat-ayat yang menyangkut kehidupan
sosial adalah satu berbanding seratus. Artinya untuk satu ayat ibadah, ada
seratus ayat muamalah ( masalah sosial).
Kedua bahwa ditekankannya masalah
muamalah atau sosial dalam Islam ialah adanya kenyataan bahwa bila urusan
ibadah bersamaan waktunya dengan urusan muamalah yang penting, maka ibadah
boleh diperpendek atau ditangguhkan (bukan ditinggalkan) melainkan tetap
dikerjakan sebagaimana mestinya.
Ketiga bahwa ibadah yang mengandung segi
kemasyarakatan diberi ganjaran lebih besar dari ibadah yang bersifat
perseorangan. Karena itu shalat yang dilakukan secara berjamaah dinilai lebih
tinggi nilainya daripada shalat yang dikerjakan sendirian dengan ukuran satu
berbanding dua puluh tujuh derajat.
Keempat dalam Islam terdapat ketentuan bila
urusan ibadah dilakukan tidak sempurna atau batal, karena melanggar pantangan
tertentu, maka kifaratnya ialah melakukan sesuatu yang berhubungan dengan
masalah sosial. Bila puasa tidak mampu dilakukan misalnya, maka jalan keluarnya
; dengan membayar fidyah dalam bentuk memberi makan bagi orang miskin.
Kelima dalam Islam terdapat ajaran bahwa
amal baik dalam bidang kemasyarakatan mendapat ganjaran lebih besar dari pada
ibadah sunnah. [23] Demikian sebaliknya sosiologi
memiliki kontribusi dalam bidang kemasyarakatan terutama bagi orang yang
berbuat amal baik akan mendapatkan status sosial yang lebih tinggi ditengah-tengah
masyarakat, secara langsung hal ini berhubungan dengan sosiologi.
Berdasarkan
pemahaman kelima alasan diatas, maka melalui pendekatan sosiologis, agama akan
dapat dipahami dengan mudah, karena agama itu sendiri diturunkan untuk
kepentingan sosial. Dalam al-Qur’an misalnya dijumpai ayat-ayat berkenaan
dengan hubungan manusia dengan manusia lainnya, sebab-sebab yang menyebabkan
terjadinya kemakmuran suatu bangsa dan sebab-sebab yang menyebabkan terjadinya
kesengsaraan. Semua itu hanya baru dapat dijelaskan apabila yang memahaminya
mengetahui sejarah sosial pada ajaran agama itu diturunkan.[24]
J. Kesimpulan
Beberapa
objek pendekatan sosiologi yang digunakan oleh para sosiolog ternyata
menghasilkan cara untuk memahami agama dengan mudah. Selain itu memang menurut
beberapa sosiolog dan ahli metodologi studi-studi ke-Islaman bahwa agama Islam
itu sendiri sangat mementingkan peranan aspek sosial dalam kehidupan beragama.
Karena
objek sosiologi adalah masyarakat, maka ilmu ini sangat cepat berkembang dan
bercabang kepada bidang-bidang keilmuan lainnya, sosiologi hukum, sosiologi
perkotaan, sosiologi pedesaan, sastra dan lain sebagainya, dan tidak menutup
kemungkinan bahwa cabang-cabang sosiologi akan bertambah.
Kajian-kajian
ke-Islaman yang menggunakan pendekatan sosiologi sangat menarik dan lebih dapat
mendekatkan pemahaman terhadap universalitas ajaran Islam itu sendiri. Tetapi
kajian-kajian tersebut masih membutuhkan uluran tangan sarjana-sarjana Islam
untuk mengembangkannya.
Objek
bahasan pendekatan sosiologi dalam studi Islam seperti dalam pembahasan makalah
ini, terdapat tiga pendekatan utama sosiologi, yaitu : 1) pendekatan
struktural–fungsional, 2) pendekatan konflik atau marxien dan 3)
pendekatan interaksionisme–simbolis.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Syamsuddin. Agama dan
Masyarakat. Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997.
Ali, A. Mukti. Ibnu Khaldun dan
Asal-usul Sosiolog. Yogyakarta: Yayasan Nida, 1970.
al-Jawanisi, Abu al-Futuh Muhammad. Abu
Raihan Muhammad Ibnu Ahmad al- Biruni. al-Majlis a’la li
al-Syu’al-Islamiyah. Kairo : 1967.
Bahreisi, Hussein. Hadits
Bukhari-Muslim. Surabaya : Karya Utama, tt.
Ba-Yunus, Ilyas, Farid Ahmad. Islamic
Sosiology; An Introduction. terj. Hamid Basyaib.
Bandung: Mizan, 1996.
MGMP, Tim. Sosiologi SUMUT.
Sosiologi. Medan : Kurnia, 1999.
Nata, Abuddin. Metodelogi Studi
Islam. Jakarta : RajaGrafindo Persada, 2002.
O’dea, Thomas. The Sosiology
of Religion. terj. Tim Yosogama. Jakarta: RajaGrafindo
Persada, 1995.
Rahmat, Jalaluddin. Islam
alternatif. Bandung : Mizan, 1986.
Ridwan, Deden. (ed). Tradisi Baru
Penelitian Agama Islam Tinjauan Antar Disiplin
Ilmu. Bandung: Nuansa,
2001.
Sihombing, Baharuddin dan Buyung
Ali. Metode Studi Islam. Bandung: Cita Pustaka
Media, 2005.
Sanderson, Stepen. Sosiologi
Makro. edisi Indonesia. Hotman M. Siahaan. Jakarta:
Raja Grafindo
Persada, 1995.
Soekanto, Soerjono. Sosiologi Suatu
Pengantar. Jakarta : Rajawali, 1987.
Sucipto, Hery. Ensiklopedi Tokoh
Islam. Bandung : Mizan 2003.
Syani, Abdul. Sosiologi dan
Perubahan Masyarakat. Lampung : Pustaka Jaya, 1995.
Werren, Joseph Roucek, Rolan. Sosiologi
An Introduction. terj. Sehat Simamora. Jakarta: PT. Bina
Aksara, 1984.
|
|
[1]Abuddin
Nata, Metodelogi Studi Islam (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2002), h.
39.
[2]Abdul
Syani, Sosiologi Dan Perubahan Masyarakat (Lampung: Pustaka
Jaya, 1995) h. 2.
[3]Tim MGMP, Sosiologi
SUMUT, Sosiologi (Medan : Kurnia, 1999) h. 3.
[4]Steven
Sanderson, Sosiologi Makro, terj. Sahat Simamora, (Jakarta : Bina
Aksara, 1984), h. 253.
[5]Stepen
Sanderson, Sosiologi Makro, edisi Indonesia, Hotman M. Siahaan,
(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995), h. 2.
[6]Joseph
Roucek dan Rolan Werren, Sosiologi An Introduction, terj. Sehat
Simamora, (Jakarta: PT. Bina Aksara, 1984), h. 253.
[7]Ilyas
Ba-Yunus Farid Ahmad, Islamic Sosiology; An Introduction, terj. Hamid
Basyaib, (Bandung: Mizan, 1996), h. 20 - 24.
[10]Thomas
O’dea, The Sosiology of Religion, terj. Tim Yosogama, (Jakarta:
RajaGrafindo Persada, 1995), h. 2.
[12]Ia lahir
di Tunisia pada tanggal 1 Ramadhan 732 H (27 Mei 1332 M). Dia adalah Wali al
Din Abd Rahman, anak Muhammad, anak Muhammad, anak Muhammad, anak al Hasan,
anak Jabir, anak Muhammad, anak Ibrahim, anak Abd al Rahman Ibn Khaldun, A.
Mukti Ali, Ibnu Khaldun dan Asal-usul Sosiolog (Yogyakarta: Yayasan
Nida, 1970), h. 12.
[13]Syamsuddin
Abdullah, Agama dan Masyarakat (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), h.
60.
[14]Abu
al-Futuh Muhammad al-Jawanisi, Abu Raihan Muhammad Ibnu Ahmad al-Biruni, al-Majlis
a’la li al-Syu’al-Islamiyah, (Kairo : 1967) h. 24.
[15]Hery
Sucipto, Ensiklopedi Tokoh Islam (Bandung: Mizan 2003) h. 69.
[18]Soerjono
Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar (Jakarta : Rajawali, 1987), h.
368–375.
[19]Ilyas
Ba-Yunus, Islamic Sosiology; An Introduction, h. 29.
[21]M. Deden
Ridwan, (ed), Tradisi Baru Penelitian Agama Islam Tinjauan Antar Disiplin
Ilmu (Bandung: Nuansa, 2001), h. 180. Lihat juga: Baharuddin Sihombing, dan
Buyung Ali, Metode Studi Islam (Bandung: Cita Pustaka Media, 2005), h.
186-187.
[22]Jalaluddin
Rahmat, Islam alternatif (Bandung : Mizan, 1986), h.. 48.
[23]Hussein
Bahreisi, Hadits Bukhari-Muslim (Surabaya : Karya Utama, tth), h. 160.
[24]Abuddin
Nata, Metodelogi Studi Islam, h. 42.
Khilafah
Khilafah, Imamah, SulthanahKhilafah menurut Ibn Khaldun adalah pemerintahan yang berlandaskan Agama yang memerintahkan rakyatnya sesuai dengan petunjuk Agama baik dalam hal keduniawian atau akhirat. Maka pemerintahan yang dilandaskan pada Agama disebut dengan Khilafah, Imamah atau Sulthananh. Sedang pemimpinnya disebut Khalifah, Imam atau Sulthan. Khilafah adalah pengganti Nabi Muhammad dengan tugas mempertahankan agama dan menjalankan kepemimpinan dunia. Lembaga imamah adalah wajib menurut hukum agama, yang dibuktikan dengan dibai’atnya Abu Bakar sebagai khalifah. Tetapi ada juga yang berpendapat, imamah wajib karena akal/ perlunya manusia terhadap organisasi sosial. Namun hukum wajibnya adalah fardhu kifayah (Muqaddimah: 191-193). Ibn Khaldun sendiri menetapkan 5 syarat bagi khalifah, Imam, ataupun Sulthan, yaitu: 1. Memiliki pengetahuan. 2. Memiliki sifat ‘adil. 3. Mempunyai kemampuan. 4. Sehat Panca indera dan badannya. 5. Keturunan Quraisy. Berdasarkan teori ‘ashabiyah, Ibn Khaldun berpendapat sama dengan Pemikir Muslim sebelumnya tentang keutamaan keturunan Quraisy. Ia mengemukakan bahwa orang-orang Quraisy adalah pemimpin-pemimpin terkemuka, original dan tampil dari bani Mudhar. Dengan jumlahnya yang banyak dan solidaritas kelompoknya yang kuat, dan dengan keanggunannya suku Quraisy memiliki wibawa yang tinggi. Maka tidak heran jika kepemimpinan Islam dipercayakan kepada mereka, sebab seluruh bangsa Arab mengakui kenyataan akan kewibawaannya, serta mereka hormat pada keunggulan suku Quraisy. Dan jika kepemimpinan dipegang oleh suku lain, maka yang terjadi adalah pembangkangan serta berujung pada kehancuran. Padahal Nabi menginginkan persatuan, solidaritas, dan persaudaraan (Muqaddimah: 194). Tetapi menurut Ibn Khaldun hal ini jangan diartikan bahwa kepemimpinan itu dimonopoli oleh suku Quraisy, atau syarat keturunan Quraisy didahulukan daripada kemampuan. Ini hanya didasarkan pada kewibawaan dan solidaritas yang tinggi pada suku Quraisy pada saat itu, hingga ketika suku Quraisy telah dalam keadaan tidak berwibawa, atau ada suku lain yang mempunyai ‘ashabiyyah yang tinggi dan kebibawaan yang tinggi, dan juga kepemimpinan dari suku Quraisy sudah tidak dapat lagi diharapkan, maka kepemimpinan dapat berpindah ke suku atau kelompok lain yang mempunyai kewibawaan, solidaritas, dan kemampuan yang lebih. Pemikiran Ibn Khaldun dalam hal ini mirip dengan pemikiran Al-Mawardi ataupun Ghazali, bahwa khalifah haruslah dari golongan Quraisy. Tetapi Ibn Khaldun merealisasikannya dengan teori ‘Ashabiyyah seperti dijelaskan di atas.
Bentuk-Bentuk Pemerintahan
Ibn Khaldun berpendapat bentuk pemerintahan ada 3: 1. Pemerintahan yang natural (siyasah thabi’iyah), yaitu pemerintahan yang membawa masyarakatnya sesuai dengan tujuan nafsu. Artinya, seorang raja dalam memerintah kerajaan (mulk) lebih mengikuti kehendak dan hawa nafsunya sendiri dan tidak memperhatikan kepentingan rakyat yang akibatnya rakyat sukar mentaati akibat timbulnya terror, penindasan, dan anarki. Pemerintahan jenis ini pada zaman sekarang menyerupai pemerintahan otoriter, individualis, otokrasi, atau inkonstitusional. 2. Pemerintahan yang berdasarkan nalar (siyasah ‘aqliyah), yaitu pemerintahan yang membawa rakyatnya sesuai dengan rasio dalam mencapai kemaslahatan duniawi dan mencegah kemudharatan. Pemerintahan yang berasaskan Undang-undang yang dibuat oleh para cendekiawan dan orang pandai. Bentuk Pemerintahan seperti ini dipuji disatu sisi tetapi dicela disatu sisi. Pemerintahan jenis ini pada zaman sekarang serupa dengan pemerintahan Republik, atau kerajaan insitusional yang dapat mewujudkan keadilan sampai batas tertentu. 3. Pemerintahan yang berlandaskan Agama (siyasah Diniyyah), yaitu pemerintahan yang membawa semua rakyatnya sesuai dengan tuntunan agama, baik yang bersifat keduniawian maupun keukhrawian. Menurut Ibn Khaldun model pemerintahan seperti inilah yang terbaik, karena dengan hukum yang bersumber dari ajaran Agama akan terjamin tidak saja keamanan dan kesejahteraan di dunia tetapi juga di akhirat. Dan karena yang dipakai sebagai asas kebijaksanaan pemerintahan itu adalah ajaran Agama, khususnya Islam, maka kepala Negara disebut Khalifah dan Imam. Khalifah, oleh karena ia adalah pengganti Nabi dalam memelihara kelestarian Agama dan kesejahteraan duniawi rakyatnya. Imam, karena sebagai pemimpin dia ibarat Imam Salat yang harus diikuti oleh rakyatnya sebagai makmum (Muqaddimah: 191). Dari pembagian pemerintahan di atas, nampak bahwa Ibn Khaldun menempuh jalur baru dibanding Al-Farabi dan Ibn Abi Rabi’ dalam pengklasifikasian pemerintahan. Ia tidak memandang pada sisi personalnya, juga pada jabatan Imam itu sendiri, melainkan pada makna fungsional keimamahan itu sendiri. Sehingga menurutnya substansi setiap pemerintahan adalah undang-undang yang menjelaskan karakter suatu sistem pemerintahan.
Tahapan Timbul Tenggelamnya Peradaban
Berdasarkan teorinya ‘ashabiyyah, Ibn Khaldun membuat teori tentang tahapan timbul tenggelamnya suatu Negara atau sebuah peradaban menjadi lima tahap, yaitu: (Muqaddimah: 175). 1.Tahap sukses atau tahap konsolidasi, dimana otoritas negara didukung oleh masyarakat (`ashabiyyah) yang berhasil menggulingkan kedaulatan dari dinasti sebelumnya. 2.Tahap tirani, tahap dimana penguasa berbuat sekehendaknya pada rakyatnya. Pada tahap ini, orang yang memimpin negara senang mengumpulkan dan memperbanyak pengikut. Penguasa menutup pintu bagi mereka yang ingin turut serta dalam pemerintahannya. Maka segala perhatiannya ditujukan untuk kepentingan mempertahankan dan memenangkan keluarganya. 3.Tahap sejahtera, ketika kedaulatan telah dinikmati. Segala perhatian penguasa tercurah pada usaha membangun negara. 4.Tahap kepuasan hati, tentram dan damai. Pada tahap ini, penguasa merasa puas dengan segala sesuatu yang telah dibangun para pendahulunya. 5.Tahap hidup boros dan berlebihan. Pada tahap ini, penguasa menjadi perusak warisan pendahulunya, pemuas hawa nafsu dan kesenangan. Pada tahap ini, negara tinggal menunggu kehancurannya. Tahap-tahap itu menurut Ibnu Khaldun memunculkan tiga generasi, yaitu: 1. Generasi Pembangun, yang dengan segala kesederhanaan dan solidaritas yang tulus tunduk dibawah otoritas kekuasaan yang didukungnya. 2. Generasi Penikmat, yakni mereka yang karena diuntungkan secara ekonomi dan politik dalam sistem kekuasaan, menjadi tidak peka lagi terhadap kepentingan bangsa dan negara. 3. Generasi yang tidak lagi memiliki hubungan emosionil dengan negara. Mereka dapat melakukan apa saja yang mereka sukai tanpa memedulikan nasib negara. Jika suatu bangsa sudah sampai pada generasi ketiga ini, maka keruntuhan negara sebagai sunnatullah sudah di ambang pintu, dan menurut Ibnu Khaldun proses ini berlangsung sekitar satu abad. Ibn Khaldun juga menuturkan bahwa sebuah Peradaban besar dimulai dari masyarakat yang telah ditempa dengan kehidupan keras, kemiskinan dan penuh perjuangan. Keinginan hidup dengan makmur dan terbebas dari kesusahan hidup ditambah dengan ‘Ashabiyyah di antara mereka membuat mereka berusaha keras untuk mewujudkan cita-cita mereka dengan perjuangan yang keras. Impian yang tercapai kemudian memunculkan sebuah peradaban baru. Dan kemunculan peradaban baru ini pula biasanya diikuti dengan kemunduran suatu peradaban lain (Muqaddimah: 172). Tahapan-tahapan di atas kemudian terulang lagi, dan begitulah seterusnya hingga teori ini dikenal dengan Teori Siklus. (http://id.wikipedia.org/wiki/Teori_Siklus_Ibn_Khaldun.20.12)
Sebagaimana diungkapkan Ibnu
Taimiyah dalam as-Siyasa asy-Syar'iyyah bahwa, ''Wilayah (organisasi
politik) bagi persoalan (kehidupan sosial) manusia merupakan keperluan agama
yang terpenting. Tanpa topangannya, agama tidak akan tegak kokoh. Karena Allah
SWT mewajibkan manusia berbuat amar ma'ruf nahi munkar dan menolong pihak yang
teraniaya, maka semua yang diwajibkan tentang jihad, menegakkan keadilan, dan
menegakkan hudud, tidak mungkin sempurna kecuali dengan kekuatan dan
kekuasaan.'' Prinsip dasar kekuasaan (negara) dalam konsepsi Islam harus
ditegakkan atas dasar konstitusi yaitu Alquran, Sunnah Nabi, Ijma', dan Qiyas.
Dalam pelaksanaannya, konstitusi Islam adalah penjabaran atau tafsir dari
konstitusi tersebut yang dalam prakteknya setiap negara boleh berbeda, guna
menjamin berbagai kepentingan bangsa. Hal yang paling penting dalam menegakkan
konstitusi Islam terletak pada kepatuhan dari umatnya. Hal itu sebagaimana
diamanatkan oleh Ibnu Taimiyyah, ''Maka menegakkan daulah Islamiah merupakan
perkara yang wajib untuk melaksanakan hukum-hukum syariat.'' Konsepsi itu telah
menjadi rujukan bagi penulis-penulis Muslim klasik maupun modern, yang pada
umumnya berada dalam wacana pentingnya hubungan antara agama dan negara
(kekuasaan).
Sebagai konsepsi politik yang
mengandung arti pelaksanaan bernegara dalam pemerintahan, dalam negara Islam
memiliki sistem politik dengan ciri-ciri sebagai berikut:
- Dalam Islam kekuasaan penuh dipegang oleh umat;
- Masyarakat ikut berperan dan bertanggungjawab;
- Kebebasan adalah hak semua orang;
- Persamaan di antara semua manusia (egaliter);
- Kelompok yang berbeda (minoritas) juga memiliki legalitas (asas pluralisme);
- Kezaliman (tirani) mutlak tidak diperbolehkan dan usaha meluruskannya adalah wajib bagi semua umat;
- Undang-undang di atas segalanya.
Ciri-ciri tersebut meski tidak
secara tetap disepakati oleh para pemikir politik Islam, namun setiap pemikir
politik Islam hampir tidak terlepas dari pemahaman tersebut meski jumlah yang
disebutkan tidak sama. Prinsip yang paling penting dalam pemerintahan Islam
adalah bahwa pemerintahan ditegakkan atas dasar aturan yang sesuai dengan
syari'at Islam. Semua pemikir Islam sepakat bahwa prinsip dasar itu meliputi:
- Keadilan, yaitu kewajiban yang harus dilaksanakan oleh kepala negara.
- Musyawarah, yang dalam pelaksanaannya dalam bentuk parlemen/ majelis syura (Hasbi Ash Shiddieqy, 1991: 109-116). Kedua prinsip dasar itu pada umumnya dipakai oleh para pemikir Islam, di samping ada yang menambah dengan prinsip ketiga yaitu;
- Tanggungjawab pemerintah, yakni pemerintah harus bertanggungjawab terhadap keselamatan negara dan rakyat.
Dari sejumlah ciri-ciri politik
dalam konsepsi Islam tersebut perlu dibedakan dengan ciri ''Negara Islam'',
dalam hal ini negara dalam arti Dar Al-Islam (negeri yang damai), yaitu sebuah
negara yang secara teknis diatur menurut Hukum Islam. Jika negara yang secara
teknis adalah Negara Islam (Dar Al-Islam), maka secara tradisional menurut
fiqih Islam memiliki tiga ciri pokok, yaitu:
- Masyarakatnya Muslim (Ummah);
- Hukum yang berlaku adalah hukum Islam (syari'at); dan
- Kepemimpinan masyarakat secara Muslim yaitu khalifah (Mumtaz Ahmad, 1986: 58).
Azyuamrdi Azra dalam hal ini
membedakan antara negara Islami yaitu negara yang menerapkan nilai-nilai Islam
dalam kehidupan bernegara dengan Negara Islam untuk menyebut negara yang secara
teknis sebagai Negara Islam. Namun secara tegas ia menjelaskan bahwa tidak ada
model tunggal negara Islam di dunia, apakah di Arab, Pakistan Mesir atau di
Indonesia.
Jika dilihat dari sistem politik
Islam dalam bernegara maka konsep Khilafah dan Imamah merupakan sebuah model
yang selalu menjadi rujukan oleh beberapa pemikir politik dan kenegaraan Islam.
Khilafah dan Imamah merupakan sistem
kepemimpinan negara dalam masyarakat Muslim yang dipandang relevan dengan syariat
Islam. Khilafah pada hakekatnya adalah suatu bentuk kekuasaan yang menjalankan
pemerintahan setelah Nabi Muhammad saw. Doktrin tentang khilafah yang
disebutkan dalam Alquran ialah bahwa segala sesuatu di atas bumi ini, berupa
daya dan kemampuan yang diperoleh seorang manusia, hanyalah karunia Allah SWT.
Dan Allah telah menjadikan manusia dalam kedudukan demikian sehingga ia dapat
menggunakan pemberian dan karunia yang dilimpahkan kepadanya di dunia ini
sesuai dengan keridhaan-Nya. Berdasarkan hal itu, maka manusia bukanlah
penguasa atau pemilik dirinya sendiri, tetapi ia hanyalah khalifah atau wakil
Sang Pemilik yang sebenarnya.
Dengan demikian maka sistem Khilafah
adalah akibat logis dari sistem Islam, tetapi tidak dianggap sebagai salah satu
dogma yang fundamental dari Islam. Kelembagaan ini dimaksudkan untuk menjamin
kesejahteraan umum dalam rangka menegakkan hukum Illahi, dan kepaduan umat
dalam ekspansinya.
Imamah (imam=pemimpin), menurut Ibnu
Khaldun, ditunjuk untuk merealisasikan kemaslahatan kepentingan-kepentingan,
baik yang bersifat duniawi maupun ukhrowi (akhirat), karena kenyataan yang
bersifat duniawi harus dicerminkan kepada kemaslahatan di akhirat. Konsep
imamah dalam sejarah pemikir politik Islam sering diartikan sebagai pengganti
istilah khilafah, yaitu konsep yang menyangkut penentuan seorang pemimpin
(kepala negara) dan jalannya pemerintahan, yang di dalamnya mengandung definisi
bahwa, imamah itu bukanlah hak seseorang, atau hak segolongan orang saja, atau
merupakan hak istimewa bagi seseorang. Dalam hal ini yang dikehendaki dari
konsep imamah ialah, tertunaikannya tugas yang harus ditunaikan, yang telah
di-nash-kan; bukan adanya seseorang atau beberapa orang.
Konsep imamah secara manthiqiyah
(arti istilah) mengandung arti suatu kedudukan yang diadakan untuk mengganti
kenabian dalam urusan agama dan mengendalikan urusan dunia. Konsep ini sering
secara ekstrim dipakai oleh golongan Syi'ah. Dari segi pencetusnya pemikir Al
Mawardi merupakan tokoh yang dikenal sebagai perumus konsep imamah (Al
Maududi, 1996: 276).
Secara umum sistem politik dalam
pemerintahan Islam setelah Nabi adalah menggunakan konsep khilafah, sebagaimana
konsep itu digunakan oleh pemikir ketatanegaraan Islam kenamaan, Al-Farabi.
Konsep Al-Farabi mengacu kepada sistem kepemimpinan umat Islam setelah 100
tahun lamanya terbentuk sebuah imperium Islam yang luas dan nyata. Umat Islam
di seluruh dunia, baik dia warga dari negara Islam ataupun warga dari negara
non-Islam, semuanya mengakui bahwa Khalifah di Madinah atau kemudian di
Damaskus adalah penguasa tertinggi dari kaum Muslimin yang dinamakan Amirul
Mu'minin.
Dengan demikian, dari segi konsepnya
tentang imamah dan khilafah tidak terdapat perbedaan, yang membedakan adalah
secara harfiah dan siapa yang menggunakan konsep tersebut. Perbedaan
interpretasi dalam sistem kilafah dan imamah itu terletak pada siapa yang
berhak menjadi khalifah setelah Nabi Muhammad saw. Dalam hal ini Ali As-Saulus
menggunakan konsep imamah sama dengan khilafah, yaitu sebagai pemimpin
tertinggi atau penguasa tertinggi umat Islam (As-Saulus, 1997: 15-22).
Kunci pokok dari khilafah adalah
model pengganti penguasa dalam memimpin pemerintahan Islam. Pedoman dasar
khilafah dalam menjalankan kekuasaan harus sesuai dengan norma dan hukum Tuhan.
Kerangka dasar khilafah diberikan secara menyeluruh kepada manusia, bukan
kepada keluarga tertentu, kelas tertentu atau suku. Khilafah merupakan pondasi
demokrasi dalam Islam yang meletakkan demokrasi superlatif dalam prakteknya,
yaitu demokrasi yang menyesuaikan keseimbangan antara individu dan kolektif.
Dengan demikian maka semua pemikir
Islam sepakat bahwa mengangkat kepala negara (khalifah) hukumnya wajib
sebagaimana diamanatkan oleh Ibnu Khaldun. Bahkan secara eksplisit Al Mawardi
dengan teori kontrak sosialnya secara tegas menyatakan jika tanpa adanya
penguasa maka kehidupan akan menjadi kacau balau. Konsep itu diadopsi oleh
Thomas Hobbes dengan teori sosialnya, serta John Locke dan Rousseau yang baru
membicarakan pada abad XVII setelah lima abad dikumandangkan oleh pemikir
Islam. Secara ekstrim Ibnu Taimiyah telah mewajibkan umat untuk memiliki
seseorang kepala negara bagaimanapun kondisinya, ''Enam puluh tahun di bawah
tirani penguasa lebih baik daripada semalam tanpa pemerintahan''. (Ibnu
Taimiyah, 1977).
Dalam perjalanan sejarah, bentuk
khilafah berlangsung dari tahun 41-656 H/632-1258 M. Masa itu dibagi dalam
sistem kekuasaan yang meliputi: Daulat Khulafaur-Rasyidin (632-661 M), Daulat
Umayah (661-750 M), Daulat Abbasiyah (750-1250 M).
Dari masa pemerintahan khilafah itu
yang paling menonjol adalah masa khalifah yang empat yang disebut
Khulafaur-Rasyidin (pemimpin yang mulia), sebab masa itulah pemerintahan
berdasarkan musyawarah. Para khalifah dalam memutuskan sesuatu akan selalu
melihat Kitabullah. Bila tidak ada, maka akan melihat pada Sunnah Nabi, jika
tidak ditemukan maka akan mengumpulkan tokoh-tokoh yang baik untuk musyawarah
dalam lembaga yang disebut Majelis Syura. Arti penting dari masa
Khulafaur-Rasyidin adalah sebagai awal pembentukan dan pengembangan ideologi
Islam beserta lembaga-lembaganya.
Kebesaran pemerintahan masa
Khulafair-Rasyidin ditandai dengan penerapan undang-undang yang sama atas semua
orang, suatu pemerintahan yang didasari oleh jiwa demokrasi yang ditunjukkan
dengan kesediaan menerima kritik. Namun sangat disayangkan bahwa kebesaran masa
Khulafaur-Rasyidin itu tidak berlangsung lama, sebab dengan berakhirnya
kekuasaan khalifah keempat (Ali bin Abithalib [661 M/ 41 H]) yang digantikan
kekuasaan model keluarga dari Bani Mu'awiyah, maka masuklah ke pintu kerajaan
(monarki).
Masuknya sistem khilafah dengan
model kerajaan sejak berakhirnya masa Khulafaur-Rasyidin telah menjadi lembaran
kelam bagi sejarah ketatanegaraan Islam yang berjalan secara demokratis. Hal
itu disebabkan dalam menjalankan kekuasaan antara Khulafaur-Rasyidin dengan
masa kerajaan sangat berbeda. Pada masa Khulafaur-Rasyidin kekuasaan itu
diperoleh karena datang (bukan dicari) dan merupakan amanat dari kaum Muslimin.
Sedangkan kerajaan sejak Mu'awiyah hingga Abbasiyah, kekuasaan diperoleh dengan
berperang.
Kekuasaan Muawiyah merupakan titik
awal tamatnya Khulafaur-Rasyidin disambung dengan kekuasaan Abbasiyah yang
berlangsung hingga abad XIX. Di sisi lain, berakhirnya Khulafaur-Rasyidin
adalah munculnya para pemikir Islam yang membahas tentang sistem politik dan
ketatanegaraan Islam, terutama pada masa Daulat Abbasiyah yang memberi
sumbangan besar dalam perkembangan ilmu pengetahuan. Pada abad XIX sistem
khalifah masih sempat dibangun oleh kerajaan Turki Usmani yang menjadi pusat
kekhalifahan dunia Islam. Namun dengan berbagai rongrongan dari golongan
non-Islam dengan menggelorakan semangat nasionalisme sekuler, maka berakhirlah
kekhalifahan Turki Utsmani tahun 1924 dengan dibentuknya UU Turki yang berwatak
sekuler yang dipelopori oleh Mustafa Kemal At Taturk. Berakhirnya kekhalifahan
Turki Usmani kemudian Turki menjadi negara sekuler hingga saat ini.
Dengan demikian maka periode pasca
khilafah sejak berakhirnya Daulat Abbasiyah umat Islam memasuki periode
kemunduran secara politik dan pemikiran kenegaraan. Kondisi itu menurut Ibnu
Taymiyah sebagai akibat penyelewengan pemerintahan dari filsafat Islam dan
penerapan undang-undang yang dipengaruhi oleh kekuasaan Mogol seperti di Mesir
(Cairo) serta banyaknya undang-undang adat dan sekuler yang dijunjung tinggi
oleh bangsa Arab sendiri (Ibnu Taimiyah: 5). Dalam perkembangannya
memasuki abad kolonialisme dan imperialisme oleh bangsa Barat atas
negara-negara Islam telah membawa dampak lebih terpuruknya kondisi kaum
Muslimin di berbagai belahan dunia.
Memasuki periode abad XIX dengan
semangat kebangkitan Islam, kaum Muslimin memasuki babak baru dalam pemikiran
politik Islam yang berusaha mengadakan gerakan menghidupkan kembali sistem
ketatanegaraan pada masa Nabi dan masa Khulafaur-Rasyidin. Periode ini ditandai
dengan kebangkitan Islam (Islam Resource), yaitu suatu gerakan yang mengacu
kepada pandangan bahwa Islam menjadi penting kembali, Islam dikaitkan dengan
masa lalunya yang gemilang yang mempengaruhi kaum Muslimin hingga sekarang.
Akhir abad XIX dan awal abad XX
sebagai babak baru pemikiran Islam yang melahirkan konsep baru dalam bernegara
dengan melontarkan konsep masyarakat madani sebagai reinterpretasi redefinisi
model negara ideal Madinah semasa Nabi untuk menjawab tantangan model demokrasi
Barat yang besifat sekuler yang telah berkembang di seantero dunia. Konsep
madani kemudian menjadi proto type negara demokrasi di negara-negara Muslim
yang kini juga menjadi wacana dalam bernegara di Indonesia.
Epilog
Pemikiran Islam tentang kenegaraan berkembang dari para khalaf (yang datang kemudian) yang dilatarbelakangi peristiwa dalam masyarakat Islam setelah penaklukan keluar daerah. Pemikiran itu didasarkan atas akal dan wahyu bertemu dengan pemikiran-pemikiran baru, sementara akal tidak mau berserah diri. Pemikiran-pemikiran asing (baru) ini sangat mempengaruhi pembangunan pemikiran Islam. Dilihat dari peran pemikiran Islam dalam hal ini sebenarnya justru untuk menentang golongan yang hendak menodai bangunan wahyu dengan akal dusta mereka. Akal Islam hendak menumpas sendiri apa yang dipandang dusta. Sumbangan besar yang sangat berarti dari pemikir Islam itu adalah warisan pemikirannya yang selalu menjadi rujukan bagi para pemikir berikutnya, baik yang mengkritik atau yang mendukungnya.
Pemikiran Islam tentang kenegaraan berkembang dari para khalaf (yang datang kemudian) yang dilatarbelakangi peristiwa dalam masyarakat Islam setelah penaklukan keluar daerah. Pemikiran itu didasarkan atas akal dan wahyu bertemu dengan pemikiran-pemikiran baru, sementara akal tidak mau berserah diri. Pemikiran-pemikiran asing (baru) ini sangat mempengaruhi pembangunan pemikiran Islam. Dilihat dari peran pemikiran Islam dalam hal ini sebenarnya justru untuk menentang golongan yang hendak menodai bangunan wahyu dengan akal dusta mereka. Akal Islam hendak menumpas sendiri apa yang dipandang dusta. Sumbangan besar yang sangat berarti dari pemikir Islam itu adalah warisan pemikirannya yang selalu menjadi rujukan bagi para pemikir berikutnya, baik yang mengkritik atau yang mendukungnya.
Buah pikiran dari para sarjana Islam
klasik hingga dan para pemikir Islam masa modern itu pula yang banyak mewarisi
tradisi pemikiran Islam Indonesia, baik karya dalam bahasa Arab maupun bahasa
Inggris. Pemikiran itu mencakup konsep politik maupun kenegaraan yang telah
dibangun para sarjana Islam.
Beberapa pemikir Islam yang
tergolong pemikir klasik adalah:
Al Farabi (260 H/ 870 M) dengan konsepnya Negara Utama (Al Madinatul Al Fadilah) yang secara filosofis mengacu kepada sistem negara kesatuan yang dibangun pada masa Nabi di Madinah. Konsep penting dari Al Farabi adalah sebagai pencetus negara kemasyarakatan yang bercorak federasi (colectivistic state).
Ibnu Siena (370-25? H/ 980-1033 M) dengan konsepnya Negara Adil Makmur, dikenal sebagai konseptor sistem negara sosialis yang ber-Tuhan, yang kemudian diadopsi oleh negara Rusia dan diselewengkan ke dalam bentuk negara komunis sejak revolusi Bolswijk 1917. Indonesia dalam hal ini secara positif mengadopsi cita-cita negara adil makmurnya Ibnu Siena dengan menjadikannya sebagai cita-cita negara yang ingin mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur.
Al Ghozali (450-505 H/ 1058-1111 M) dengan konsepnya Negara Moral (Negara Universal); yang kemudian diadopsi oleh pemikir negara di Eropa yang membentuk negara agama di abad pertengahan (midle age) yang melahirkan abad kegelapan (dark age).
Ibnu Khaldun (lahir 732 H/ 133 M) dengan konsepnya Negara Kemakmuran (ashabiah). Konsep Ibnu Khaldun banyak diadopsi oleh pemikir barat modern sejak renaissance hingga sekarang dengan memodifikasi dengan konsep baru welfar state (negara kesej
http://www.reocities.com/CapitolHill/embassy/4083/tarbiyah/konsepnegara.htmlAl Farabi (260 H/ 870 M) dengan konsepnya Negara Utama (Al Madinatul Al Fadilah) yang secara filosofis mengacu kepada sistem negara kesatuan yang dibangun pada masa Nabi di Madinah. Konsep penting dari Al Farabi adalah sebagai pencetus negara kemasyarakatan yang bercorak federasi (colectivistic state).
Ibnu Siena (370-25? H/ 980-1033 M) dengan konsepnya Negara Adil Makmur, dikenal sebagai konseptor sistem negara sosialis yang ber-Tuhan, yang kemudian diadopsi oleh negara Rusia dan diselewengkan ke dalam bentuk negara komunis sejak revolusi Bolswijk 1917. Indonesia dalam hal ini secara positif mengadopsi cita-cita negara adil makmurnya Ibnu Siena dengan menjadikannya sebagai cita-cita negara yang ingin mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur.
Al Ghozali (450-505 H/ 1058-1111 M) dengan konsepnya Negara Moral (Negara Universal); yang kemudian diadopsi oleh pemikir negara di Eropa yang membentuk negara agama di abad pertengahan (midle age) yang melahirkan abad kegelapan (dark age).
Ibnu Khaldun (lahir 732 H/ 133 M) dengan konsepnya Negara Kemakmuran (ashabiah). Konsep Ibnu Khaldun banyak diadopsi oleh pemikir barat modern sejak renaissance hingga sekarang dengan memodifikasi dengan konsep baru welfar state (negara kesej
0 Comments:
Post a Comment