BERDAKWAH YANG BAIK
Tafsir Surat an-Nahl (16): 125
Serulah mereka ke jalan Tuhanmu
dengan hikmah dan nasihat yang baik serta bantahlah mereka dengan cara yang
lebih baik. Sesungguhnya Tuhanmu adalah Yang lebih mengetahui siapa yang tersesat
dari jalan-Nya dan Yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk. (QS
An-Nahl [16]: 125).
Sabab an-Nuzûl Ayat
Para mufasir berbeda pendapat
seputar sabab an-nuzûl (latar belakang turunnya) ayat ini. Al-Wahidi
menerangkan bahwa ayat ini turun setelah Rasulullah saw. menyaksikan jenazah 70
sahabat yang syahid dalam Perang Uhud, termasuk Hamzah, paman Rasulullah.1
Al-Qurthubi menyatakan bahwa ayat ini turun di Makkah ketika adanya perintah
kepada Rasulullah saw. untuk melakukan gencatan senjata (muhâdanah)
dengan pihak Quraisy. Akan tetapi, As-Suyuthi tidak menjelaskan adanya
riwayat yang menjadi sabab an-nuzûl ayat tersebut.2
Meskipun demikian, ayat ini tetap
berlaku umum untuk sasaran dakwah siapa saja, Muslim ataupun kafir, dan tidak hanya
berlaku khusus sesuai dengan sababun nuzul-nya (andaikata ada sabab
an-nuzûl-nya). Sebab, ungkapan yang ada memberikan pengertian umum3—setelah
kata ud‘u (serulah) tidak disebutkan siapa obyek (maf‘ûl bih)-nya.
Ini adalah uslûb (gaya pengungkapan) bahasa Arab yang memberikan
pengertian umum (li at-ta’mîm).4 Dari segi siapa yang
berdakwah, ayat ini juga berlaku umum. Meski ayat ini adalah perintah Allah
kepada Rasulullah, perintah ini juga berlaku untuk umat Islam.5
Makna Global Ayat
Ayat di atas menerangkan tiga metode
(tharîqah) dakwah, yakni cara pengemban dakwah menyerukan Islam kepada
manusia. Ada cara yang berbeda untuk sasaran dakwah yang berbeda. Pertama,
dengan hikmah, maksudnya dengan dalil (burhan) atau hujjah
yang jelas (qath‘i ataupun zhanni) sehingga menampakkan kebenaran
dan menghilangkan kesamaran.6 Cara ini tertuju kepada mereka yang
ingin mengetahui hakikat kebenaran yang sesungguhnya, yakni mereka yang
memiliki kemampuan berpikir yang tinggi atau sempurna;7 seperti para
ulama, pemikir, dan cendekiawan.
Kedua,
dengan maw‘izhah hasanah, yaitu peringatan yang baik yang dapat
menyentuh akal dan hati (perasaan).8 Misalnya, dengan menyampaikan
aspek targhîb (memberi dorongan/pujian) dan tarhîb (memberi
peringatan/celaan) ketika menyampaikan hujjah.9 Cara ini
tertuju kepada masyarakat secara umum. Mereka adalah orang-orang yang taraf
berpikirnya di bawah golongan yang diseru dengan hikmah, namun masih
dapat berpikir dengan baik dan mempunyai fitrah dan kecenderungan yang lurus.10
Ketiga,
dengan jadal (jidâl/mujâdalah) billati hiya ahsan, yaitu
debat yang paling baik. Dari segi cara penyampaian, perdebatan itu disampaikan
dengan cara yang lunak dan lembut, bukan cara yang keras dan kasar.11
Dari segi topik, semata terfokus pada usaha mengungkap kebenaran, bukan untuk
mengalahkan lawan debat semata atau menyerang pribadinya.12 Dari
segi argumentasi, dijalankan dengan cara menghancurkan kebatilan dan membangun
kebenaran. Cara ini tertuju kepada orang yang cenderung suka berdebat dan
membantah, yang sudah tidak dapat lagi diseru dengan jalan hikmah dan maw‘izhah
hasanah.13
Bagian akhir ayat memberikan arti,
bahwa jika kita telah menyeru manusia dengan tiga jalan tersebut, maka urusan
selanjutnya terserah Allah. Memberikan hidayah bukan kuasa manusia, melainkan
kuasa Allah semata. Kita hanya berkewajiban menyampaikan (balâgh);
Allahlah yang akan memberikan petunjuk serta memberikan balasan, baik kepada
yang mendapat hidayah maupun yang tersesat.14
Sebagian ulama seperti al-Qurthubi
dan al-Baghawi berpendapat, ayat ini telah di-nasakh (dihapus) oleh ayat
perang, jika yang menjadi sasaran dakwah adalah orang kafir. Namun, yang lebih
tepat adalah pendapat jumhur ulama, yang mengatakan ayat ini muhkam
(tidak di-nasakh), dan tetap dapat diberlakukan kepada sasaran dakwah
yang Muslim ataupun kafir.15 Jika sasaran dakwahnya kaum kafir, ayat
ini dipahami sebagai langkah pertama untuk mereka, yakni mengajak mereka masuk
Islam. Langkah itu wajib ditempuh sebelum langkah kedua, yakni ajakan membayar jizyah
dan menjadi ahl adz-dzimmah, dan langkah ketiga, yakni perang (al-qitâl)
di jalan Allah.16
Pendapat Para Mufasir dan
Analisisnya
a. Makna Hikmah.
Sebagian mufasir seperti as-Suyuthi,
al-Fairuzabadi, dan al-Baghawi mengartikan hikmah sebagai al-Quran.17
Ibnu Katsir menafsirkan hikmah sebagai apa saja yang diturunkan Allah
berupa al-Kitab dan As-Sunnah.18
Penafsiran tersebut tampaknya masih
global. Mufasir lainnya lalu menafsirkan hikmah secara lebih rinci,
yakni sebagai hujjah atau dalil. Sebagian mensyaratkan hujjah itu
harus bersifat qath‘i (pasti), seperti an-Nawawi al-Jawi. Yang lainnya,
seperti al-Baidhawi, tidak mengharuskan sifat qath‘i, tetapi menjelaskan
karakter dalil itu, yakni kejelasan yang menghilangkan kesamaran. An-Nawawi
al-Jawi menafsirkan hikmah sebagai hujjah yang qath‘i yang
menghasilkan akidah yang meyakinkan. An-Nisaburi menafsirkan hikmah
sebagai hujjah yang qath‘i yang dapat menghasilkan keyakinan.
Al-Baidhawi dan Al-Khazin mengartikan hikmah dengan ucapan yang tepat (al-maqâlah
al-muhkamah), yaitu dalil yang menjelaskan kebenaran dan menyingkirkan
kesamaran (ad-dalil al-muwadhdhih li al-haq wa alimuzîh li asy-syubhah).
Al-Asyqar menafsirkan hikmah dengan ucapan yang tepat dan benar (al-maqâlah
al-muhakkamah ash-shahîhah).
Kesimpulannya, jumhur mufasir
menafsirkan kata hikmah dengan hujjah atau dalil. Dari ungkapan
para mufasir di atas juga dapat dimengerti, bahwa hujjah yang dimaksud
adalah hujjah yang bersifat rasional (‘aqliyyah/fikriyyah), yakni
hujjah yang tertuju pada akal. Sebab, para mufasir seperti al-Baidhawi,
al-Alusi, an-Nisaburi, al-Khazin, dan an-Nawawi al-Jawi mengaitkan seruan
dengan hikmah ini kepada sasarannya yang spesifik, yakni golongan yang
mempunyai kemampuan berpikir sempurna.19
b. Makna maw‘izhah hasanah.
Sebagian mufasir menafsirkan maw‘izhah
hasanah (nasihat/peringatan yang baik) secara global, yaitu nasihat atau
peringatan al-Quran (mawâ‘izh al-Qur’ân). Demikian pendapat al-Fairuzabadi,
as-Suyuthi, dan al-Baghawi. Namun, as-Suyuthi dan al-Baghawi sedikit
menambahkan, dapat juga bermakna perkataan yang lembut (al-qawl ar-raqîq).
Merinci tafsiran global tersebut,
para mufasir menjelaskan sifat maw‘izhah hasanah sebagai suatu nasihat
yang tertuju pada hati (perasaan), tanpa meninggalkan karakter nasihat itu yang
tertuju pada akal. Sayyid Quthub menafsirkan maw‘izhah hasanah sebagai
nasihat yang masuk ke dalam hati dengan lembut (tadkhulu ilâ al-qulûb
bi rifq). An-Nisaburi menafsirkan maw‘izhah hasanah sebagai
dalil-dalil yang memuaskan (ad-dalâ’il al-iqna’iyyah), yang tersusun
untuk mewujudkan pembenaran (tashdîq) berdasarkan premis-premis yang
yang telah diterima. Al-Baidhawi dan Al-Alusi menafsirkan maw‘izhah
hasanah sebagai seruan-seruan yang memuaskan/meyakinkan (al-khithâbât
al-muqni‘ah) dan ungkapan-ungkapan yang bermanfaat (al-‘ibâr al-nâafi‘ah).
An-Nawawi al-Jawi menafsirkannya sebagai tanda-tanda yang bersifat zhanni
(al-amârât azh-zhanniyah) dan dalil-dalil yang memuaskan. Al-Khazin
menafsirkan maw‘izhah hasanah dengan targhîb (memberi dorongan
untuk menjalankan ketaatan) dan tarhîb (memberikan ancaman/peringatan
agar meninggalkan kemaksiatan).20
Dari berbagai tafsir itu, karakter
nasihat yang tergolong maw‘izhah hasanah ada dua: Pertama,
menggunakan ungkapan yang tertuju pada akal. Ini terbukti dengan ungkapan yang
digunakan para mufasir, seperti an-Nisaburi, al-Baidhawi, dan al-Alusi, yakni
kata dalâ’il (bukti-bukti), muqaddimah (premis), dan khithâb
(seruan). Semua ini jelas berkaitan dengan fungsi akal untuk memahami.
Kedua,
menggunakan ungkapan yang tertuju pada hati/perasaan. Terbukti, para mufasir
menyifati dalil itu dengan aspek kepuasan hati atau keyakinan. An-Nisaburi,
misalnya, mengunakan kata dalâ’il iqnâ‘iyyah (dalil yang menimbulkan
kepuasan/keyakinan). Al-Baidhawi dan al-Alusi menggunakan ungkapan al-khithâbât
al-muqni‘ah (ungkapan-ungkapan yang memuaskan). Adanya kepuasan dan
keyakinan (iqnâ‘) jelas tidak akan terwujud tanpa proses pembenaran dan
kecondongan hati. Semua ini jelas berkaitan dengan fungsi hati untuk meyakini
atau puas terhadap sesuatu dalil. Di antara upaya untuk menyentuh perasaan
adalah menyampaikan targhîb dan tarhîb, sebagaimana ditunjukkan
oleh Al-Khazin. Seruan dengan maw‘izhah
hasanah ini tertuju pada umumnya masyarakat, yakni yang kemampuan
berpikirnya tidak secanggih golongan yang diseru dengan hikmah, tetapi
masih mempunyai fitrah yang lurus. Demikian menurut al-Baidhawi, al-Alusi,
an-Nisaburi, al-Khazin, dan an-Nawawi al-Jawi.
c. Makna jidâl billati hiya ahsan.
Sebagian mufasir memaknai jidâl
billati hiya ahsan (debat yang terbaik) secara global. Misalnya
Al-Fairuzabadi, beliau menafsirkan jidâl billati hiya ahsan
sebagai berdebat dengan al-Quran atau dengan kalimat Lâ ilâha illâ Allâh.21
Contohnya, menurut as-Suyuthi, adalah seperti seruan kepada Allah dengan
ayat-ayat-Nya dan seruan pada hujjah-hujjah-Nya.22
Pada penafsiran yang lebih terinci,
akan didapati perbedaan pendapat di kalangan para mufasir. Akan tetapi,
perbedaan itu sesungguhnya dapat dihimpun (jama’) dan diletakkan
dalam aspeknya masing-masing. Perbedaan itu dapat dikategorikan menjadi
tiga aspek. Pertama, dari segi cara (uslûb), sebagian mufasir
menafsirkan jidâl billati hiya ahsan sebagai cara yang lembut (layyin)
dan lunak (rifq), bukan dengan cara keras lagi kasar. Inilah penafsiran
Ibn Katsir, al-Baghawi, al-Baidhawi, al-Khazin, dan M. Abdul Mun’in Al-Jamal.
Kedua,
dari segi topik (fokus) debat, sebagian mufasir menjelaskan bahwa jidâl
billati hiya ahsan sebagai debat yang dimaksudkan semata-mata untuk
mengungkap kebenaran pemikiran, bukan untuk merendahkan atau menyerang pribadi
lawan debat. Sayyid Quthub menerangkan bahwa jidâl billati hiya ahsan bukanlah
dengan jalan menghinakan (tardzîl) atau mencela (taqbîh) lawan
debat, tetapi berusaha meyakinkan lawan untuk sampai pada kebenaran (Fî
Zhilâl al-Qur’ân, XIII/292).
Ketiga,
dari segi argumentasi, sebagian mufasir menjelaskan bahwa argumentasi dalam jidâl
billati hiya ahsan mempunyai dua tujuan sekaligus, yaitu untuk
menghancurkan argumentasi lawan (yang batil) dan menegakkan argumentasi kita
(yang haq). Imam an-Nawawi al-Jawi (Marah Labid, I/517) menjelaskan
bahwa tujuan debat adalah ifhâmuhum wa ilzâmuhum (untuk membuat diam lawan
debat dan menetapkan kebenaran pada dirinya).23 Imam al-Alusi
mencontohkan debatnya Nabi Ibrahim a.s. dengan Raja Namrudz (Rûh al-Ma‘âni,
V/487).
Jika kita dalami, dalam debat itu
ada dua hal sekaligus: menetapkan kebenaran dan menghancurkan kebatilan (Lihat:
QS al-Baqarah [2] : 258). Seruan dengan jidâl billati hiya tertuju
kepada orang yang menentang kebenaran dan cenderung untuk membantah dan
mendebat.
Aplikasi dalam Dakwah
Jika kita hendak menjelaskan
wajibnya menegakkan Khilafah Islamiyah, misalnya, kita dapat menggunakan cara hikmah;
jika kita berdakwah kepada ulama, intelektual, pemikir, dan semisalnya,
dalam forum yang khusus dan terbatas (bukan forum umum). Di sana dapat
dijelaskan wajibnya Khilafah secara detil dan mendalam, misalnya dengan
menerangkan definisinya; berbagai definisi Khilafah dan tarjîh
(analisis)-nya; dalil-dalil kewajibannya secara rinci dari ayat al-Quran,
as-Sunnah, Ijma Sahabat, Qâwâ‘id Syar‘iyyah, termasuk juga wajh
istidlâl (cara penyimpulan hukum dari dalilnya) sesuai dengan disiplin ilmu
ushul fikih; berbagai pendapat ulama salaf dan khalaf seputar wajibnya
Khilafah, kitab-kitab rujukannya, termasuk bantahan terhadap pendapat yang
mengingkari wajibnya Khilafah, baik pendapat dari orang terdahulu maupun orang
sekarang.
Kepada masyarakat awam, dalam
forum-forum yang umum dan terbuka, ditempuh cara maw‘izhah hasanah. Di
sini tetap harus dijelaskan wajibnya Khilafah beserta dalil-dalilnya, hanya
saja tidak sedetil dan sedalam penjelasan kita kepada golongan yang diseru
dengan hikmah di atas, disertai dengan targhîb dan tarhîb untuk
menyentuh perasaan mereka, misalnya disampaikan hadis sahih riwayat Imam
Muslim, bahwa siapa saja yang tidak berbaiat kepada Khalifah, dia akan mati
jahiliah.
Adapun kepada para penentang Khilafah, seperti kaum sekular dan liberal,
ditempuh cara jidâl billati hiya ahsan, baik dalam forum khusus maupun
umum. Kita
berbicara secara lunak, tidak kasar; terfokus pada ide, bukan pribadi. Kita
menghancurkan argumen-argumen palsu mereka untuk menolak Khilafah, yang
sesungguhnya adalah ide sekularisme yang kufur. Lalu kita menegakkan hujjah-hujjah
kita atas mereka bahwa kewajiban Khilafah adalah sesuatu yang tidak dapat
diragukan lagi, kecuali bagi orang-orang kafir atau munafik yang sombong
terhadap kebenaran. Wallâhu a‘lam.
Catatan kaki:
1
Al-Wahidi, Asbâb
an-Nuzûl, dalam Syaikh Hasanain Muhammad Makhluf, hamisy (margin) Tafsîr
wa Bayân Kalimât al-Qur’ân, hlm. 249.
2
As-Suyuthi dan
al-Mahalli, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm (Tafsîr al-Jalâlayn), hlm.
196-197.
3
Ini berdasarkan kaidah
ushul, “Al-‘Ibrah bi ‘umûm al-lafzhi lâ bi khushûsh as-sabab” (Yang
menjadi patokan adalah keumuman ungkapan, bukan kekhususan sebab). Lihat
Muhammad bin ‘Alawi Al-Maliki, Zubdah al-Itqân fî ‘Ulûm al-Qur’ân, hlm.
12; Wahbah az-Zuhaili, Ushûl al-Fiqh al-Islâmi, I/273.
4
Contoh lain seperti ini,
firman Allah yang berbunyi: Wallâhu yad‘u ilâ Dâr as-Salâm (Allah
menyeru [manusia] ke Darus Salam [surga]. [QS Yunus (10): 25]). Lihat
asy-Syaukani, Irsyâd al-Fuhûl, hlm. 132; Syaikh Muhammad Nashir
aAs-Sa’di, 70 Kaidah Penafsiran Al-Qur‘an (Al-Qawâ‘id al-Hasan fî Tafsîr
al-Qur’ân), hlm. 14.
5
Ini sesuai dengan kaidah
ushul, “Khithâb ar-rasûl khithâb li ummatihi” (Seruan [Allah] kepada
Rasulullah adalah seruan pula kepada umatnya). Lihat
Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, Asy-Syakhshiyah Al-Islamiyah, III/241.
6
Al-Baidhawi, Anwâr
at-Tanzîl wa Asrâr at-Ta‘wîl (Tafsîr al-Baydhawi), III/195; Al-Khazin,
Lubâb at-Ta‘wîl fî Ma‘âni at-Tanzîl, IV/124; Muhammad Sulayman al-Asyqar,
Zubdah at-Tafsîr min Fath al-Qadîr, hlm. 363.
7
An-Nawawi al-Jawi, Marah
Labid Tafsir An-Nawawi, I/516-517.
8
Muhammad Abdul Mun’in
Al-Jamal, At-Tafsîr al-Farîd li al-Qur’ân al-Majîd, hlm. 1704.
9
Al-Khazin, Lubâb
at-Ta‘wîl fî Ma‘âni at-Tanzîl, IV/124. Ini sesuai dengan makna bahasa maw’izhah,
yakni memberi nasihat atau peringatan dengan menerangkan akibat-akibat (bi
al-‘awâqib) dari sesuatu perbuatan. Lihat Ibrahim Anis dkk, Al-Mu‘jam
Al-Wasîth, hlm. 1043.
10
An-Nisaburi, Gharâ’ib al-Qur’ân
wa Raghâ’ib al-Furqân, XIV/130-131.
11
Demikian menurut Muhammad Khayr
Haikal, Al-Jihâd wa al-Qitâl fî as-Siyâsah asy-Syar‘iyyah, I/786 &
790, mengikuti pendapat al-Mawardi dalam Al-Ahkâm ash-Shulthaniyah hlm.
37-38, al-Kasani dalam Badâ‘i‘ ash-Shana`i‘, VII/100, dan As-Sarakhsi
dalam Syarh as-Sayr al-Kabîr, I/75-76.
12
Sayyid Quthub, Fî Zhilâl
al-Qur’ân, XIII/292.
13 Al-Alusi, Rûh
al-Ma‘âni, V/487.
14 Ibnu
Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, II/591.
15
Al-Alusi, V/487; Dr. Muhammad Abdul
Mun’in al-Jamal, hlm. 1704.
16
Tiga alternatif bertahap ini
didasarkan pada hadis sahih riwayat Imam Muslim dari sahabat Buraidah al-Aslami
r.a. (Shahîh Muslim, hadis no. 1731); Muhammad Khayr Haikal, I/786 & 790.
17
As-Suyuthi dan Imam Al-Mahalli, hlm.
199; al-Baghawi, Ma‘âlim at-Tanzîl (Tafsîr al-Baghawi), III/74;
al-Fayruzabadi, hlm. 232.
18
Ibnu Katsir, II/591.
19
Lihat: Al-Baidhawi, III/195;
Al-Alusi, V/487; an-Nisaburi, XIV/130-131; Al-Khazin, IV/124; an-Nawawi,
I/516-517.
20
Lihat: Sayyid Quthub, XIII/292;
an-Nisaburi, XIV/131; al-Baidhawi, III/195; al-Alusi, V/487; an-Nawawi, I/517;
al-Khazin, IV/124.
21
Al-Fayruzabadi, hlm. 232.
22
As-Suyuthi dan al-Mahalli, hlm. 199.
23
An-Nawawi al-Jawi, I/516-517.
0 Comments:
Post a Comment