“Observasi
Peminta-Minta di Sekitar Jatim Expo Wonocolo Surabaya”
“Teori-teori
Pengembangan Masyarakat”
Nurul Hidayah
BABI
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG
Di kota Surabaya khususnya di sekitar jatim expo terdapat banyak pengamin-pengamin
yang berkeliaran. Dengan adanya pengamin di sekitar jatim expo ini dapat
meresahkan orang-orang yang ada di sekitarnya. Karena, Pengamin
dan pengemis adalah suatu pekerjaan seseorang atau kelampok, dimana seseorang
atau kelompok itu mencari kebutuhan hidupnya hanya mengharapkan belas kasih
dari orang atau meminta-minta kepada orang lain.
Sedangkan pemberdayaan masyarat atau komunitas adalah upaya
untuk meningkatkan harkat dan martabat lapisan masyarakat
kita yang dalam kondisi sekarang tidak mampu untuk melepaskan diri dari
perangkap kemiskinan dan
keterbelakangan. Dengan kata lain memberdayakan adalah memampukan dan memandirikan masyarakat. Unsure-unsur yang memungkinkan masyarakat mampu bertahan dan mampu
mengembangan diri untuk mencapai tujuan-tujuannya.
B. RUMUSAN MASALAH
a.
Bagaiman
menganngkat pengamin ini biar bisa berdaya dengan bekerja yang layak?
b.
Apa
yang menyebabkan terjadinya pengamin pengamin di sekitar jatim expo?
C.
TUJUAN PENULISAN
Tujuan
penulisan laporan observasi ini untuk memenuhi tugas mata kuliah Teori-teori
Pengembangan Masyarakat sebagai pengganti dari UTS dan UAS.
BAB II
PEMBAHASAN
1.
TINJAUAN TEORI
Pemberdayaan Masyarakat
Pemberdayaan
masyarakat dapat didefinisikan sebagai tindakan sosial dimana penduduk sebuah
komunitas mengorganisasikan diri dalam membuat perencanaan dan tindakan
kolektif untuk memecahkan masalah sosial atau memenuhi kebutuhan sosial sesuai
dengan kemampuan dan sumberdaya yang dimilikinya (Suharto, 2004). Pemberdayaan
sebagai proses mengembangkan, memandirikan, menswadayakan, memperkuat posisi
tawar menawar masyarakat lapisan bawah terhadap kekuatan-kekuatan penekan di
segala bidang dan sektor kehidupan. Pemberdayaan adalah proses memfasilitasi
warga masyarakat secara bersama-sama pada sebuah kepentingan bersama atau
urusan yang secara kolektif dapat mengidentifikasi sasaran, mengumpulkan sumber
daya, mengerahkan suatu kampanye aksi dan oleh karena itu membantu menyusun
kembali kekuatan dalam komunitas (Eko, 2002).
Sutoro Eko
(2002) menyimpulkan dari berbagai sumber, bahwa pemberdayaan terbentang dari
level psikologis-personal (anggota masyarakat) sampai ke level struktural
masyarakat secara kolektif. Pemberdayaan psikologis-personal berarti
mengembangkan pengetahuan, wawasan, harga diri, kemampuan, kompetensi,
motivasi, kreasi, dan kontrol diri individu. Pemberdayaan struktural-personal
berarti membangkitkan kesadaran kritis individu terhadap struktur
sosial-politik yang timpang serta kapasitas individu untuk menganalisis
lingkungan kehidupan yang mempengaruhi dirinya. Pemberdayaan psikologis-masyarakat
berarti menumbuhkan rasa memiliki, gotong rotong, mutual trust,
kemitraan, kebersamaan, solidaritas sosial dan visi kolektif masyarakat.
Sedangkan pemberdayaan struktural-masyarakat berarti mengorganisir masyarakat
untuk tindakan kolektif serta penguatan partisipasi masyarakat dalam
pembangunan dan pemerintahan.
Pemberdayaan
dari sisi struktural-masyarakat merupakan arena pemberdayaan yang paling
krusial karena pemberdayaan tidak bisa hanya diletakkan pada kemampuan dan
mental diri individu, tetapi harus diletakkan pada konteks relasi kekuasaan
yang lebih besar, dimana setiap individu berada di dalamnya. Mengikuti pendapat
Margot Breton (1994), realitas obyektif pemberdayaan merujuk pada kondisi
struktural yang mempengaruhi alokasi kekuasaan dan pembagian akses sumber daya
di dalam masyarakat. Dia juga mengatakan bahwa realitas subyektif perubahan
pada level individu (persepsi, kesadaran dan pencerahan), memang penting,
tetapi sangat berbeda dengan hasil-hasil obyektif pemberdayaan: perubahan kondisi
sosial.
2.
DESKRIPSI
Jalinan
hubungan antara elemen-elemen pada tingkat mikro dapat dijelaskan dengan perspektif
kontingensi, yaitu akibat-akibat yang terjadi pada tingkat mikro merupakan
akibat dari penyebab pada tingkat makro dalam kondisi tertentu yang terjadi
pada tingkat meso.
Ketidak berdayaan
komunitas lokal pada tingkat mikro (Surabaya khususnya pengamin-pengamin yang
ada di sekitar jatim expo), merefleksikan adanya faktor di luar komunitas lokal
yang mengabaikan potensi sosial yang dimilikinya. Hal ini disebabkan kurang
dipahaminya hakekat dari strategi pemberdayaan masyarakat oleh institusi sosial
pada tingkat mikro, sehingga terdapat perbedaan makna pemberdayaan secara
konseptual dengan implementasi di lapangan. Selain itu mode of orientation dari
aktor pembangunan yang berada dalam posisi pengambil keputusan pada tingkat
makro cenderung masih diwarnai oleh kepentingan ekonomi dan politik daripada
kepentingan sosial budaya. Hal ini dapat dilihat dari implikasi perubahan
struktural kota yang meliputi perubahan tata ruang, sosial ekonomi dan
administrasi serta pengelolaan pembangunan yang cenderung mengabaikan
keberadaan komunitas kecil.
Dalam keadaan
sistem masyarakat yang lebih besar mengabaikan potensi yang tersedia di dalam
komunitas, sama juga dengan membuat keseimbangan sistem sosial tersebut menjadi
terganggu atau tidak membuat sistem sosial tersebut menjadi stabil. Hubungan
kontingensi antara sistem makro, meso dan mikro bukan hanya bersifat dinamis
tetapi juga mengarah kepada ketidakseimbangan antara elemen sistem yang
menggerakkan sub-sub sistem tersebut menjadi semakin jauh dari keadaan semula.
Ketidakberdayaan pada komunitas lokal dalam beradaptasi dengan perubahan
struktural kota merefleksikan perubahan sosial yang terjadi pada komunitas
lokal menuju keadaan yang sangat berbeda dengan kondisi awal. Ketidakberdayaan
komunitas lokal merefleksikan mereka mengalami disfungsi sosial dan dapat
berakibat terjadi disintegrasi sosial dari lingkungan sosial sekitarnya. Dalam
perkembangan wilayah yang begitu pesat, kerelaan komunitas lokal untuk 7
melepas aset yang dimiliki kepada para pengambil keputusan di lingkungan
pemerintah daerah dan pihak pengembangan perumahan (developer) tidak
dapat dikategorikan sebagai complimentary sub sistem komunitas lokal
yang saling menguntungkan, karena semakin lama terjadi disparitas nilai ekonomi
dari ‘sumbangan’ komunitas lokal terhadap pembangunan dengan nilai ekonomi yang
diraih oleh pihak pengembang. Di lain pihak, elit penguasa lokal cenderung
berafiliasi dengan pihak pengusaha untuk memperoleh keuntungan ekonomi dan
politik. Respon yang ditunjukkan komunitas lokal semakin lama tidak menjadi
bagian dari complimentary sub sistem lain, melainkan menjadi bagian dari
suatu sistem yang terpinggirkan dari sistem sosial kota yang berkembang
dinamis. Kepatuhan komunitas lokal terhadap putusan penguasa pada awal
perkembangan kota, menjadi semakin jauh dari harapan semula, karena mereka
semakin lama semakin berkurang aset kepemilikannya, semakin sulit akses
terhadap pelayanan sosial dasar dan akhirnya keberadaan mereka tidak diakui
oleh lingkungan sekitar. Jika pada akhirnya ada pribadi-pribadi yang mengalami
disintegrasi dari lingkungan sosial dengan melakukan perilaku menyimpang atau
melakukan tindak kriminal, hal ini selain akibat dari tekanan eksternal yang
sangat kuat, juga akibat daya tahan sosial mereka pada titik yang paling
rendah. Dalam ketidakberdayaan, mereka juga akhirnya bisa mengambil keputusan
untuk semakin menyimpang dari norma-norma sosial yang berlaku dalam lingkungan
komunitasnya. Selama mempertahankan kelangsungan hidupnya yang semakin sulit,
motivasi dalam menjalani kehidupan yang semula masih positif berubah menjadi
motivasi negatif.
Dengan demikian hubungan antara
makro dan mikro terletak pada hubungan kontingensi antara mode of
orientation aktor pembangunan pada tingkat makro dengan pilihan strategi
pemberdayaan masyarakat pada tingkat meso serta tindakan sosial pada proses
pemberdayaan masyarakat pada tingkat mikro. Elemen-elemen sistem dan kekuatan
ekonomi, politik dan sosial budaya pada tingkat makro menjadi faktor penentu
keputusan strategis institusi sosial dalam pemberdayaan komunitas secara
transformatif. Elemen sistem dan kekuatan ekonomi yang cenderung mempengaruhi
secara positif terhadap sistem meso yaitu orientasi pemberdayaan non
ekonomi secara proporsional dengan pemberdayaan ekonomi dan perlindungan pada
hak kepemilikan komunitas. Elemen sistem dan kekuasaan politik yang cenderung
mempengaruhi secara positif terhadap sistem meso memiliki dimensi-dimensi
desentralistik, perencanaan dari bawah, dan kepentingan yang bertumpu pada
kesejahteraan masyarakat.
Elemen sistem
dan kemampuan sosial budaya yang cenderung mempengaruhi secara positif terhadap
sistem meso memiliki dimensi-dimensi orientasi masalah sosial sebagai
tantangan, pendayagunaan kekuatan/ potensi, orientasi pada masa depan, dan
jalinan mitra kolaboratif dengan berbagai pihak. Elemen makro berinteraksi
dengan pilihan strategi pemberdayaan pada masyarakat secara transformatif di
tingkat meso untuk mencapai keberdayaan komunitas yang dapat dilihat dari
aktualisasi diri dan koaktualisasi eksistensi komunitas. Kedua hal tersebut
merefleksikan hubungan antara potensi diri, potensi sosial, kategori strategi,
dan aktualisasi diri, serta koaktualisasi eksistensi komunitas.
3.
LANGKAH-LANGKAH PEMBERDAYAAN
Mempersiapkan
mereka(pengamin dan pengemis) dengan melakukan pendapingan dan memperikan
keterampilan yang terpenting yaitu memberikan pelatihan keterampilan kepada
mereka, supaya merka bisa memiliki pekerjaan dengan skill kreatif mereka
sendiri.
Melakukan FGD (focus group discussion)
antara pendamping sosial dan perwakilan masyarakat yang berasal dari beberapa
orang yang mempunyai peran penting di masyarakat serta pihak external (camat,
Dinas Pekerjaan Sosial, dll) . Kegiatan ini untuk mendiskusikan kebutuhan yang
penting yaitu pelatihan ketrampilan; (2) Menentukan siapa saja yang berkompeten
untuk mengikuti pelatihan (mempunyai pengalaman, mengerti baca & tulis,
bisa mengikuti semua sesi). Peserta kurang lebih 30 orang dari masyarakat; (3)
Kesepakatan waktu (berapa lama) & tempat pelaksanaan kegiatan.
Pelaksanaan:
Kegiatan ini dilaksanakan beberapa sesi sesuai dengan materi dan dilanjutkan dengan
praktek lapangan yang kita persiapkan skill mereka sesuai dengan sumber daya
alam yang ada.
Harapan
dari pelatihan: mereka(pengamin dan pengemis) mendapatkan pengetahuan dan
ketrampilan mengenai bagaimana cara membuka usaha dengan keterampilan yang kita
berikan, dan mampu mengaplikasikannya dalam kehidupan untuk mendapatkan
penghasilan yang akhirnya dapat meningkatkan pemasukan keluarga.
4.
ANALISIS TEORI
Berdasarkan
observasi yang saya lakukan bahwa Kompleknya peminta (pengemis dan pengamin)
yang terjadi di sekitar jatim expo desa Wonolocolo surabaya, maka diperlukan kegiatan intervensi
program yang saling berintegrasi. Perlu adanya keberlanjutan dan pendampingan,
tanpa mengabaikan pemberdayaan masyarakatnya. Pertama-tama pendamping sosial
mengorganisasi program dan proses selanjutnya dikelola oleh masyarakat. Dengan
pemberdayaan masyarakat yang di dalamnya terdapat proses interaksi, saling
membantu dan kerjasama, diharapkan akan mengembangkan pengetahuan dan rasa
kebersamaan dan timbul rasa memiliki akan program yang sudah berjalan dan
merasakan bersama manfaat yang didapat, sehingga rasa melihara dan melanjutkan
kegiatan ini terbentuk. Akhirnya akan mampu meningkatkan kesejahteraan hidup.
Salah satu akar
masalah yang sangat menunjol bagi pengamin di Surabaya khususnya di sekitar
jatim expo ialah karena sulitnya mencari pekerjaan, kerena tidak mempunyai
skill atau kemampuan, sehingga untuk memenuhi kebutuhannya mereka harus
mengamin. Dengan demikian, kegiatan yang terpenting adalah memberi penyuluhan
dalam rangka penyadaran kepada pengamin-pengamin, dan memberikan pendampingan
agar mereka bisa mempunyai pekerjaan yang lebih baik
BAB III
PENUTUPAN
5.
KESIMPUALAN
Kesimpulan merupakan hasil akhir dari suatu analisis dan fenomina
yang sebenarnya terjadi dalam suatu gejala social sehingga dalam kesimpulan ini
akan penulis paparkan beberapa temuan dalam observasi yang saya lakukan
selalama empat hari empat malam di sekitar jatim wxpo pabbrik kuliti wonocolo
Surabaya.
a.
pemberdayaan
masyarakat yang di dalamnya terdapat proses interaksi, saling membantu dan
kerjasama, diharapkan akan mengembangkan pengetahuan dan rasa kebersamaan dan
timbul rasa memiliki akan program yang sudah berjalan dan merasakan bersama
manfaat yang didapat, sehingga rasa melihara dan melanjutkan kegiatan ini
terbentuk. Akhirnya akan mampu meningkatkan kesejahteraan hidup.
b.
terjadinya
pengamin dan pengemis di sekitar jati expo desa wonocola surabaya di sebabkan
oleh sulitnya mencari pekerjaan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehati-hari
sehingga hal ini perlu adanya advokasi atau revitalisasi baik dari instansi swasta
seperti LSM ataupun pemerintah yang berwenang,
DAFTAR
PUSTAKA
http://ireyogya.org/sutoro/pemberdayaan
masyarakat desa.
Pembinaan
Program dan Pendampingan Pokmas IDT; Jakarta: Badan Perencanaan Pembangunan
Nasional - Departemen Dalam Negeri, 1995.
Usman, Sunyoto.
1998. Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat, pustaka pelajar,
Yogjakarta.